Kamis 25 Jul 2013 09:50 WIB

Menghormati Orang Tidak Puasa

  Keluarga Afghanistan tengah berbuka puasa di Kabul, Afghanistan, Senin (22/7).  (AP/Rahmat Gul)
Keluarga Afghanistan tengah berbuka puasa di Kabul, Afghanistan, Senin (22/7). (AP/Rahmat Gul)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar

(Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA)

Dalam hukum fikih, puasa diwajibkan hanya kepada orang-orang yang telah memenuhi persyaratan. Tanpa syarat tersebut terpenuhi, maka hukum puasa menjadi gugur. Beberapa syarat wajibnya puasa adalah : 1). Muslim, yaitu pemeluk agama Islam. 2). Mukallaf, yaitu orang yang berakal sehingga terkena kewajiban melakukan ibadah. 3). Mampu (menjalankan) puasa. 4).  Menetap di suatu tempat (tidak bepergian). 5). Tidak memiliki penghalang.

Lantas, bagaimana dengan orang yang tidak wajib berpuasa Ramadhan? Berdasarkan syarat tersebut, seseorang tidak wajib berpuasa manakala: Pertama, Non Muslim (tidak beragama Islam). Jika kita melihat data sensus penduduk BPS tahun 2000-2010, jumlah pemeluk agama Islam 87,18%. Berarti sisanya sebesar 12.82%, yakni 30.465.617,99 adalah non muslim, dari total 237.641.326 jiwa. 

Kedua, anak kecil dan orang yang tidak berakal (gila). Jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) menurut BPS tahun 2006 mencapai 79,8 juta anak. Jika separuhnya saja belum tidak berpuasa, berarti 39,9 juta jiwa. Belum lagi ditambah dengan jumlah orang gila. Ketiga,  orang sakit, atau lanjut usia. Data BPS menunjukkan penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 persen), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553 jiwa (9,77 persen). Sebuah jumlah yang tidak sedikit.

Keempat, orang yang dalam perjalanan. Berdasarkan data Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, jumlah penumpang yang diangkut maskapai nasional berjadwal pada 2012 mencapai 72,4 juta orang, terdiri atas 63,6 juta penumpang domestik dan 8,8 juta penumpang internasional. Sedangkan berdasarkan data BPS, jumlah penumpang angkutan kereta api pada 2012 mencapai 202,2. Belum lagi pengguna kapal laut, kendaraan umum, kendaraan pribadi dan sebagainya. Apalagi jika mudik yang terjadi pada H-7 dan H+7 lebaran. Mereka yang dalam perjalanan mendapatkan ru’soh dengan tidak berpuasa.

Kelima, perempuan yang sedang mengalami haid atau nifas setelah melahirkan. Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah ini terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Jika jumlah perempuan tersebut 25% dalam keadaan haid atau habis melahirkan (nifas), maka berarti ada 31.925.0005 perempuan yang tidak berpuasa.

Angka-angka tersebut, tentu saja bisa diperdebatkan. Tetapi syariat yang tidak mewajibkan lima golongan orang tidak berpuasa, memilki landasan hukum yang kuat, yakni bersumber dari Al Qur’an, hadits dan ijma ulama. Pertanyaannya, lantas bagaimana Islam memberikan tuntutan untuk menghormati orang yang tidak berpuasa?

Pertama, secara alamiah, manusia diciptakan dalam bentuk yang berbeda. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al Hujurat 13). Dengan demikian, perbedaan yang terjadi di dunia ini merupakan sunatullah.

Kedua, kita harus mengembangkan sikap dan prasangka positip (husnudzon) terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, ras, golongan, dan jenis kelamin. Meniadakan perbedaan adalah sesuatu yang mustahil. Karena itu kita diperintahkan untuk bersikap positif dalam menerima perbedaan. Tidak sekedar menerima perbedaan koeksistensi sosiologis, tetapi memahamai sumber-sumber perbedaan dan menerima mereka yang berbeda sebagai bagian integral masyarakat. (Mu’ti, 2009).

Al Qur’an menegaskan “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. “ (QS. Al-Baqarah : 256). Dalam ayat lain dikatakan“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi ini beriman. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya seluruh mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS. Yunus : 99). Begitu juga dalam surat Al-Kahf : 29 dan Al-An’am : 107.

Ketiga, kewajiban untuk membangun tanggung jawab sosial bersama. Berbeda bukan berarti tidak bisa bergotong royong. Bahkan semua ajaran agama dan tradisi budaya masing-masing suku di Indonesia mengajarkan untuk saling membantu, sinergi dan berbagi. Dalam kehidupan masyarakat, kita mengenal budaya dan tradisi asah, asih dan asuh, pela gendong, gotong rotong dan sebagainya. Meski secara teologis dan sosiologis bersifat ekslusiv, agama dan budaya memiliki universalitas misi kemanusiaan.

Dalam Islam, keimanan seseorang tidak akan sempurna jika tidak diimbangi dengan amal saleh; yakni berbuat kebajikan yang memberikan manfaat untuk sesama. Al Qur’an menegaskan. “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS An-Nisa 2).

Keempat. Memfasilitasi dan mengakomodir mereka yang berbeda, sehingga dapat menjalankan agama sesuai keyakinannya. Dalam piagam Madinah, semua komunitas tanpa membedakan agama dan etnis, disebut sebagai “ummat”. Sebagai penghormatan terhadap tamu dan keyakinan, Nabi Muhammad Saw mengizinkan kaum Nasrani Najran menunaikan salat di Masjidnya (Mu’ti, 2009). Al Qur’an menegaskan ”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”  (QS. An Nisa: 86)

Dengan demikian, jika ada warung makan atau restoran yang tetap buka di siang hari pada bulan puasa, jika dalam konteks adalah memfasilitasi orang-orang yang tidak berpuasa, maka tentu kita harus bersyukur. Karena masih ada kepedulian terhadap mereka yang tidak berpuasa. Tentu  saja dengan syarat tidak buka secara sembarangan, tetapi dengan tetap menjaga dan menghormati mereka yang berpuasa. Wallahua’lam

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement