REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pemerintahan sementara di Ibu Kota Mesir, Kairo mengultimatum gerakan Anti Kudeta Mesir untuk tidak lagi melakukan aksi protes. Pemerintah memberikan kewenangan kepada militer untuk melakukan langkah represif terhadap pelaku demonstrasi.
Peringatan tersebut adalah kesekian kali untuk pendukung mantan presiden Muhammad Mursi. Kantor berita pendukung militer Ahram malansir penyebaran pasukan keamanan di dua titik demonstrasi sudah dilakukan. Pengerahan militer menanggapi rencana protes akbar kelompok pro-demokrasi saat Senin (12/8) waktu setempat.
''Akan ada serangkaian langkah secara bertahap. Militer akan mengumumkan sepanjang rangkaian demonstrasi berlangsung. Dan akan membubarkan,'' demikian pernyataan seorang pejabat kementerian sementara, seperti dilansir Ahram, Senin (12/8).
Kanal berita Al Jazeera melansir situasi bak akan perang terasa di dua tempat terpisah. Militer mengepung massa Pendukung Mursi. Demonstran sudah berkumpul sejak usai shalat shubuh, Senin (12/8) waktu setempat. Pengepungan dimaksudkan agar massa tidak keluar dari ''zona protes.''
Titik pengepungan pertama adalah di Rabaa al-Adawiyah di pinggiran Ibu Kota Kairo. Di tempat tersebut sudah sebulan lebih berdiri tenda-tenda darurat massa aksi.
Sedangkan lokasi pengepungan ke dua adalah di el-Nahda Squere di Provinsi Giza. Sejumlah kendaraan lapis baja ikut menjadi benteng penghalang massa demonstran.
Dikatakan, sejumlah satuan anti hura-hara juga melakukan aksi sweeping. Sementara para demonstran bertahan dengan aksi menuntut dikembalikannya Mursi sebagai presiden.
''Kelompok Anti Kudeta Mesir (pendukung Mursi) mendirikan beton pelindung. Menyediakan kayu dan masker anti gas air mata untuk situasi terburuk,'' demikian Al Jazeera mengatakan, Senin (12/8).
Pemimpin Senior Ikhwanul Muslimin Mohamed al-Belthagi menegaskan, tidak akan mengendurkan setiap aksi menolak rezim inkonstitusional. Meskipun militer terus melakukan tindakan sepihak, kata dia itu memang sudah tabiat menghalangi proses demokrasi.