REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Rully Akbar mengatakan, publik menginginkan peran pemerintah dalam sidang Isbat minimal.
Ini terlihat berdasarkan survei LSI yang menunjukkan sebanyak 51,08 persen publik menilai pemerintah tidak perlu terlibat sidang Isbat. Hanya sebanyak 36,50 persen publik yang ingin pemerintah ikut sidang Isbat, dan sebanyak 12,42 persen publik mengaku tidak tahu.
Sebagian besar publik, ujar Rully, melihat sidang Isbat merupakan domain ormas-ormas agama yang ada. "Pemerintah tidak perlu terlibat banyak, pemerintah cukup menentukan awal Ramadahan dan Lebaran di kalender saja," ujarnya.
Pemerintah, terang Rully, tidak usah terlalu terlibat pada sidang Isbat karena publik menilai penentuan awal puasa atau Lebaran merupakan kepercayaan yang tidak perlu dicampuri pemerintah.
Pemerintah cukup menentukan tanggal merah Lebaran saja pada awal tahun, biarkan ormas yang sidang Isbat secara otonom.
"Jika ini dilakukan, maka bisa berdampak pada pengurangan efek kecemburuan pada ormas yang hasil sidang Isbatnya tidak dipakai pemerintah. Namun pemerintah harus tetap konsisten merayakan Lebaran sesuai yang ditetapkan pada kalender," kata Rully.
Pemerintah yang paling disukai dalam menentukan Lebaran, sebanyak 31,06 persen publik suka pada era Soekarno, sebanyak 54,47 persen suka pada era Soeharto, dan hanya 14, 47 persen suka pada era Reformasi.
"Dulu pemerintah tidak mengekpos sidang Isbat sehingga polemik di tingkat publik tidak tinggi. Pada era Reformasi publik semakin kritis," ujar Rully.