REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengajukan mutual legal assistance (MLA) dengan pemerintah Jepang untuk melakukan pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU Tarahan.
Pasalnya, kasus ini juga melibatkan perusahaan dari Jepang yang diduga sebagai pemberi suap dalam kasus ini.
"Menyangkut koorporasi yang cukup besar di Jepang, inisialnya M lah pokoknya. Ini pemberi suapnya dari sana," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto yang ditemui usai acara di KPK, Jakarta, Kamis (22/8).
Tokoh yang akrab disapa BW ini mengatakan dalam penanganan kasus yang melibatkan politisi dari PDI Perjuangan (PDIP), Emir Moeis ini melibatkan kalangan internasional.
Saat tim penyidik melakukan pemeriksaan terhadap mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Amerika Serikat (AS), pihaknya juga berkomunikasi dengan Department of Justice di AS untuk memeriksa dua orang.
Setelah itu, penyidik mendapatkan informasi tambahan ternyata ini tidak hanya melibatkan lembaga atau perusahaan yang ada di AS saja, melainkan juga di Jepang. Maka itu, KPK telah berencana untuk bergerak ke Jepang.
Namun, ia menyebutkan rencana proses pemeriksaan di Jepang agak berbeda karena harus menggunakan MLA yang prosesnya agak lama dan memerlukan waktu. Secara informal, pemerintah Jepang tidak keberatan KPK melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan di negaranya, namun tetap legal formalnya harus jelas.
"Secara informal, pemerintah Jepang tidak keberatan, itu firm. Tapi tetap formalnya harus jelas, karena menyangkut G to G government to government," jelas Bambang.
Menurutnya, dalam penanganan kasus Emir ini, KPK telah memeriksa sebagian besar saksi di dalam negeri. Namun, karena terduga pemberi suapnya berada di Jepang, kalau tidak diperiksa akan menjadi sulit dalam penuntasan kasus ini.
"Ibaratnya begini, pemeriksaan KPK tergantung dengan proses yang ada di luar yang konfirmasi atau approval atau persetujuannya tergantung di luar (negeri), yang di AS sudah selesai, tinggal yang di Jepang," tegas Bambang.