REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembukaan akses jalan aspal di dalam kawasan Cagar Alam (CA) dan Taman Wisata Alam (TWA) Tangkoko, Manado, Sulawesi Utara mendapat penolakan warga. Apalagi, menurut warga, dilakukan tanpa sosialisasi.
Seorang pemandu wisata (guide) lokal yang juga penggiat pendidikan konservasi di Tangkoko Education Program, Ito Wodi mengatakan proyek BKSDA Manado ini dilakukan tanpa adanya sosialisasi ke masyarakat.
"Pengrusakan habitat melalui pembukaan jalan ini tidak selaras dengan prinsip ekowisata yang didengungkan sebagai wisata berbasis alam," kata Ito kepada Republika, Jumat (23/8).
Beberapa turis yang sering berkunjung ke lokasi juga menyayangkan rencana pemerintah yang mengorbankan habitat dan justru meningkatkan stres pada satwa.
Ito menilai, setiap program pemerintah hendaknya dilakukan dengan memperhatikan aspirasi berbagai pihak, termasuk warga, peneliti, pelaku ekowisata, serta pengunjung kawasan.
Ia tak menyalahkan aktivitas berbenah untuk kepentingan pengunjung, namun hendaknya itu dilakukan tanpa mengorbankan alam dan habitat asli satwa liar di dalamnya.
Peneliti Macaca Nigra Project Maria Rosdalima Panggur mengatakan, lokasi pembangunan jalan di Tangkoko tersebut merupakan salah satu areal jelajah (home range) dari satwa endemik Yaki (Macaca Nigra). Pengembangan yang direncanakan mengadaptasi kawasan wisata di Bali itu tidak sesuai dilakukan di Tangkoko.
"Di Bali, arealnya merupakan home range Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang tidak endemik dan tidak terancam punah. Sedangkan di Tangkoko, itu merupakan home range yaki yang endemik dan terancam punah," kata dia.
Menurut informasi warga sekitar, proyek tersebut juga menjadi bagian dari rencana Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Manado.