REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Padjadjaran Budi Rajab juga menjelaskan konsekuensi negatif dijualnya secara bebas miras berkadar alkohol lima persen di Indonesia. Menurutnya, kondisi kultur dan geografis di negeri ini tidak bisa disamakan dengan Barat.
Sebagian besar penikmat miras di Indonesia, kata dia, adalah masyarakat yang keadaan ekonominya pas-pasan. Mereka memang memilih minuman beralkohol rendah karena harganya memang lebih terjangkau. Pilihan lainnya, mereka juga membeli minuman keras oplosan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan harapan bisa mendapatkan efek yang sama dengan minuman alkohol berkelas tinggi, minuman murahan tersebut kemudian mereka campur dengan bahan-bahan berbahaya. Seperti alkohol murni, lotion antinyamuk, spiritus, dan lain-lain. "Disadari atau tidak, tradisi dan perbuatan semacam itu sama saja menggiring mereka menuju kematian," imbuhnya.
Karenanya, tambah Budi, regulasi nasional yang mengatur pembatasan miras mutlak dibutuhkan. Beberapa waktu terakhir, berbagai kasus pengonsumsian minuman keras yang berujung pada kematian para pelakunya marak terjadi di sejumlah daerah. Di Kemayoran Jakarta Pusat, hingga Kamis (22/8), jumlah korban tewas akibat menenggak miras oplosan terhitung mencapai 13 orang.
Sementara di Sumedang Jawa Barat, empat orang meregang nyawa usai menggelar pesta air api bersama tujuh rekannya yang lain, Rabu (21/8). Kasus serupa juga terjadi pada hari yang sama di Indramayu, Jabar. Di sana, dua orang juga meninggal setelah menggelar pesta haram tersebut.