REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembatasan penggunaan alat peraga luar ruangan yang digagas Komisi Pemilihan Umum direspon negatif oleh beberapa calon legislatif (caleg). Pembatasan bahkan dinilai sebagai upaya untuk mempersempit ruang politik caleg maupun rakyat sebagai pemilih.
"Pembatasan-pembatasan alat peraga kampanye ini bagaimana? Kalau alasan estetika, apakah ini kontestasi Adipura?" tanya anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, Taufiq Hidayat, Rabu (28/8).
Taufiq yang juga kembali maju sebagai caleg dari daerah pemilihan Jawa Timur (Jatim) IV itu memahami langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menata pemasangan alat peraga agar tidak merusak lingkungan dan mengganggu pemandangan di ruang publik. Tetapi, menurutnya, pembatasan jenis alat peraga hanya sebatas spanduk serta kuota spanduk yang bisa dipasang dinilainya berlebihan.
Pasalnya, lanjut Taufiq, kampanye melalui baliho, billboard, dan spanduk merupakan alternatif yang cukup efektif. Selain lebih murah, sosialisasi profil dan visi misi caleg juga lebih tersampaikan melalui pemasangan atribut tersebut, dibandingkan kampanye langsung yang bisa memicu politik uang.
"Mau dengan cara bagaimana lagi caleg berkomunikasi? Ini membatasi ruang politik, pemilu bukan untuk kontes Adipura," ujarnya.
Dalam revisi PKPU 1/2013, KPU menetapkan alat peraga yang bisa digunakan caleg hanya sebatas spanduk. Jumlahnya dibatasi satu unit di setiap satu zona yang ditentukan KPU bersama pemerintah daerah setempat. Sedangkan alat peraga berupa baliho, banner, dan billboard hanya diperbolehkan dipasang oleh partai politik.