REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Gejolak nilai tukar rupiah membawa ketidakpastian situasi ekonomi, khususnya melonjaknya harga bahan pangan impor. Kedelai impor saat ini harganya tembus di angka Rp 9.000 per kg yang semula hanya Rp 7.000 per kg.
"Kondisi ini membuat pengrajin tahu dan tempe terancam bangkrut," kata Sekjen DPP Persatuan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Riyono dalam rilis kepada Republika, Rabu (28/8).
Untuk meredam terus melonjaknya harga kedelai, PPNSI mengusulkan selain pemberian subsidi yang sifatnya praktis, ada hal yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi melonjaknya harga produksi pangan lainya, seperti gula, gandum, terigu.
PPNSI mengusulkan adanya penetapan kebijakan harga yang meliputi, pertama, harga dasar (floor price) yang merangsang produksi kedelai.
Kedua, perlu ada harga maksimum (ceiling price) untuk menghindari spekulan dan mafia pangan. Ketiga, perlu ada relasi harga antardaerah, perlu isolasi harga terhadap pasaran dunia dengan fluktuasi yang lebar.
"Keempat, pemerintah harus punya buffer stock, sehingga saat harga mahal sudah bisa mengatasi langsung," jelas Riyono.
Langkah di atas diharapkannya akan mampu meredam pergerakan harga bahan pangan berbasis impor. "Dalam sepekan ke depan harusnya pemerintah bisa mengatasi harga ini, tetapkan saja floor price dan ceiling price untuk kedelai," kata Riyono.
Menurut Riyono, pemerintah diharapkan bisa melakukan intervensi pasar melalui pemberian subsidi langsung kepada pengrajin tempe dan tahu minimal Rp 2.000 per kg.
"Melalui operasi pasar harusnya pemerintah bisa meredam harga kedelai, memang solusi ini belum ideal karena operasi pasar hanya seperti obat sesaat yang dalam jangka pendek efeknya langsung" kata Riyono.
Subsidi ini perlu diberikan untuk memberikan kenyamanan dan mendorong perekonomian riil di masyarakat. Jangan biarkan rakyat kesusahan lantaran makan tempe dan tahu saja tidak mampu membeli karena harganya mahal.