REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon anggota DPD dari daerah pemilihan DKI Jakarta, Rommy, mengungkapkan, membangun dan menata Jakarta memang sangat pelik. Pemprov DKI, kata dia, akan dihadapkan pada situasi yang dilematis antara menerapkan peraturan dengan kepentingan warga.
''Peliknya membangun dan menata Jakarta mungkin baru dirasakan Gubernur Jokowi beberapa bulan terakhir ini,'' ujar Rommy kepada ROL, Jumat (6/9). Baru-baru ini, Jokowi berjuang menata Waduk Pluit dan PKL Tanah Abang, yang selama belasan tahun tak bisa diselesaikan.
Menurut Rommy, dalam menata dan membangun Jakarta, Pemprov harus mampu menyambungkan dua kepentingan, yakni menegakkan peraturan dan kepentingan warga, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.
''Hitungan untung-rugi inilah yang selama ini seperti jadi “hantu” dalam penataan Jakarta. Padahal, peraturan adalah peraturan, sehingga hanya perlu ketegasan saja dalam pelaksanaannya,'' tutur Rommy.
Situasi dilematis dan pelik untuk menyambungkan dua kepentingan itulah, kata dia, yang akhirnya membuat proses penataan kota jadi tak mudah, perlu waktu, dan pasti perlu biaya. Terlebih, papar dia, bila kebijakan itu mendobrak kemapanan masalah plus “keuntungan” dari masalah itu yang dinikmati sekian lama baik oleh oknum pemda, elemen atau kelompok tertentu, maupun oleh warga sendiri.
"Akibatnya, istilah ganti-rugi pun sering berubah jadi ganti-untung. Sebetulnya hal itu tak terlalu penting dipersoalkan bila hasil dari penerapan kebijakan itu pada akhirnya sesuai dan memadai. Lagipula, pemerintah di level apapun punya kewajiban untuk melindungi kepentingan warga negara,'' cetus Rommy.
Ia menilai penataan Waduk Pluit dan Tanah Abang adalah contoh kasus “happy ending” dari ketersambungan antara dua kepentingan itu. Menurut dia, dalam pelaksanaannya memang sebagian “kocek” APBD lumayan terkuras.
''Dalam hal apapun selalu ada harga yang timbul. Tapi warga Jakarta khususnya melihat bahwa hasilnya memang sepadan. Setidaknya, ada ruang terbuka hijau di Pluit dan warga eks penghuni tepian waduk itu kini tinggal cukup nyaman di rusun yang disediakan oleh pemda dengan segala fasilitasnya. Demikian pula, ruas jalan Pasar Tanah Abang yang dulu “horror” karena macet, kini cenderung lebih lengang setelah dilakukan penertiban dan relokasi PKL oleh pemda,'' tegasnya.
Rommy mengungkapkan, situasi dilematis, kerumitan dan risiko serupa sangat mungkin terjadi pada upaya penanganan soal lain, seperti banjir, kekumuhan, atau kemacetan akut yang terjadi di beberapa wilayah Jakarta.
Di satu sisi, lanjut dia, warga memang harus mendorong Pemda DKI Jakarta untuk menangani persoalan itu secara tegas dan tuntas, karena dampak kerugiannya yang meluas. Di sisi lain, kita juga menghendaki agar pelaksanaan kebijakan itu juga tetap berprinsip pada perlindungan hak yang melekat pada masyarakat sebagai warga Negara.
"Namun, kasus Waduk Pluit dan Tanah Abang setidaknya layak jadi cermin bahwa penataan kota Jakarta merupakan tanggung jawab bersama pemda DKI Jakarta dan warganya.
Tanpa kesadaran itu, maka upaya apapun tidak akan maksimal dan bahkan sia-sia saja. Jadi, tidak hanya pemerintah yang wajib aktif dalam menyelesaikan masalah, masyarakat pun hendaknya mendukung agar kebijakan pemerintah berhasil."