REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 115 ribu perajin tahu dan tempe akan tetap melanjutkan rencana untuk mogok produksi mulai Senin (9/9) besok hingga Rabu (11/9) karena melonjaknya harga kacang kedelai. Diperkirakan kerugian yang diderita perajin akibat mogok produksi sebanyak Rp 200 miliar.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mengatakan, kenaikan harga bahan baku untuk tahu dan tempe sudah dirasakan sejak medio bulan Agustus 2013 lalu. Saat itu para perajin tahu dan tempe tetap berupaya bertahan dengan mengurangi ukuran tempe dan tahu. Selain itu para perajin menaikkan harganya sedikit atau 20 persen yaitu yang semula Rp 3.500 menjadi Rp 4.000 sampai Rp 5.000 per potong.
Namun, masyarakat tidak mau menerima kenaikan harga tersebut. Pembeli bahkan sampai menurun sebanyak 30 persen “Kami jadi susah, menaikkan harga tempe tahu tidak bisa, menekan juga tidak mampu, tetapi jika tetap memproduksi rugi,” katanya saat dihubungi ROL, Ahad (8/9).
Akibatnya, dia menambahkan, sebanyak 9.000 perajin terpaksa mengurangi produksinya. Misalnya produksi sebesar 70 kilogram (kg) menyusut menjadi 50 kg per hari. Selain itu karyawan yang dimiliki para perajin tahu dan tempe itu terpaksa dirumahkan. Seiring berjalannya waktu, harga kedelai bukannya turun namun justru melonjak. Kini harga kedelai di tangan importir sebesar Rp 8.900 per kg. Kemudian harga kedelai di tingkat pedagang paling murah Rp 9.000-Rp 10 ribu per kg.
“Harga kedelai saat ini adalah harga yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Kini ada beberapa perajin di daerah yang sudah tidak tidak jualan seperti di Jawa Barat yaitu Sukabumi, dan Cirebon dan Yogyakarta,” tuturnya.
Meski demikian, pihaknya tidak berpikir bahwa kenaikan kedelai adalah karena ulah kartel. Ia menjelaskan, harga kedelai masih berbeda-beda di setiap daerah. Selain itu, harga kedelai berbeda-beda setiap mereknya. Karena alasan-alasan tersebut, kata Aip, sebanyak 115 ribu perajin tetap bertekad mogok produksi tahu dan tempe. Bahkan pihaknya sudah tidak memproduksi tempa sejak Jumat (6/9) lalu dan produksi tahu dihentikan sejak hari ini (Ahad, 8/9).
Aip mengakui, dengan melakukan mogok produksi, pihaknya tentu menderita kerugian. Dia menyebutkan bahwa 115 ribu perajin itu memiliki karyawan sebanyak 1,5 juta orang. Jika perajin dan tenaga kerja memiliki anak dan istri, dia menambahkan, maka pihak yang terlibat dalam industri ini adalah 5 juta orang.
Belum lagi, sambungnya,r para pedagang tahu dan tempe di pinggir jalan yang juga menderita kerugian karena tidak adanya suplai tahu dan tempe dari perajin. “Jika asumsinya kami jual tempe atau tahu satu kg sebesar Rp 10 ribu, kerugian pendapatan yang semestinya diperoleh sebesar Rp 200 miliar,” ujarnya.