REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Selain buruknya kondisi shelter, bus Trans Pakuan milik Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) Kota Bogor juga sering dikeluhkan terlambat.
Kondisi shelter bus Trans Pakuan, terutama yang menuju Ciawi, sangat memprihatinkan. Shelter banyak yang sudah hilang kaca jendelanya. Temboknya pun terlihat banyak coretan. Bahkan tak jarang, shelter digunakan sebagai tempat bermalam gelandangan dan pengemis.
Salah seorang penumpang, Ira mengungkapkan, sebenarnya Trans Pakuan bisa jadi alternatif moda transportasi masyarakat dengan biaya yang murah. Namun, pengelola harus komitmen dengan fasilitas dan perawatan bus.
"Cukup membayar Rp 4.000 kita bisa pergi dari Bubulak di bagian barat kota hingga Ciawi di bagian timur. Hanya saja, kurangnya pegangan dalam bus serta pintu yang dibuka tutup manual membuat banyak penumpang yang sangsi dengan kenyamanannya,'' kata mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Sentul itu.
Penumpang lainnya, Dede mengeluhkan lambatnya bus yang hilir mudik di sekitar Jalan Abdullah bin Nuh. Padahal, katanya, banyak warga yang mengandalkan armada milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kota Bogor itu.
"Jika harus menunggu satu jam untuk naik, orang pasti memilih moda transportasi lain. Saya pikir banyak orang yang masih berminat menggunakan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi," ungkapnya.
Kepala Bagian Pengembangan Usaha PDJT, Fajar Delli, mengatakan selain belum memiliki jalur sendiri, bus Trans Pakuan sering terlambat akibat kemacetan di beberapa titik atau proyek pembangunan, salah satunya pembangunan tol Bogor Outer Ring Road (BORR) di Jalan Sholeh Iskandar yang menuju Bubulak.
''Shelter Trans Pakuan sebenarnya aset milik dinas perhubungan. Sehingga pengelolaannya pun dibawah dinas dan sejauh ini belum ada serah terima aset,'' kata Fajar.
Saat ini jumlah armada Trans Pakuan yang beroperasi sebanyak 24 unit dari total 30 unit. Lima unit difungsikan sebagai bus cadangan, sementara satu bus mengalami kerusakan akibat terbakar. Semua unit yang beroperasi memiliki kapasitas 21 penumpang, maksimal 35 penumpang.
Pengajuan penambahan jumlah armada bus BUMB yang mulai beroperasi enam tahun lalu itu sudah dilakukan. Tapi Fajar tidak bisa memastikan kapan itu akan teralisasi. ''Ini berkaitan dengan anggaran pengadaan armada karena memang tidak mudah mengucurkan dana,'' ujarnya.