Rabu 09 Oct 2013 10:24 WIB

Altruisme Haji

Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).
Foto: Antara
Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini

Haji bukan sembarang ibadah. Rukun Islam puncak ini memiliki efek altruisme luar biasa. Itulah sebabnya Belanda ketika menjajah Indonesia mengalami hajifobia. Abad ke-19 merupakan zaman dikeluarkannya berbagai kebijakan licik model Belanda untuk menghalangi Muslim Indonesia pergi haji ke Makkah.

Karena menuai banyak kritik, maka awal abad ke-20, Belanda tidak lagi melarang Muslim beribadah haji. Hanya pengawasannya yang diperketat. Lewat konsulat Belanda di Jeddah, seluruh aktivitas orang-orang penting yang melaksanakan ibadah haji dipantau. Apa pasal?

Sejarah mencatat, tidak sedikit alumni haji yang menjadi pejuang-pejuang jihad yang gigih. Mereka rela menumpahkan keringat dan darah demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Gelora jihad ini tentu akan menggoyang kedigdayaan Belanda di bumi Indonesia. Persaudaraan antar Muslim saat di Makkah pada urutannya berubah menjadi persaudaraan antar bangsa.

Lihatlah pemberontakan Cilegon (1888). Peran ulama haji di situ sangat menonjol. Sejumlah ulama seperti Haji Abdul Karim, Haji Marjuki, Kiai Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid menjadi otak utama pemberontakan. Belanda, di mata mereka, adalah pemerintahan ilegal, sehingga harus segera dienyahkan. Di Minangkabau, ulama haji yang aktif berpolitik juga menentang kebijakan Belanda tentang guru dan sekolah, karena dianggap tidak adil dan memusuhi Islam. Pelopor penentang kebijakan itu adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Syaikh Djamil Djambek.

Beberapa intelektual muda Minangkabau yang baru pulang dari Mesir dan Makkah juga mendirikan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Organisasi yang dinyatakan dalam kongresnya pada 20-21 Mei 1930 itu diketuai oleh Haji Abdul Madjid dan beranggotakan Haji Ilyas Yacub, Haji Mukhtar Lutfi, Haji Mansur Daud, dan Haji Rasul Hamidi.

Hari berganti minggu, bulan berganti tahun, jumlah jamaah haji Indonesia kian bertambah. Gelora jidah tentu semakin sulit dibendung. Jika alumni haji dari luar Jawa lebih cenderung berjuang lewat jalur politik, jamaah haji dari Jawa yang kebanyakan kelompok santri lebih senang bergelut di jalur pendidikan. Hanya sedikit dari mereka yang berperan aktif lewat politik, terutama Sarekat Islam (SI). Mereka, misalnya, Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto.

Di Yogyakarta, kita mengenal nama KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Dia adalah ulama haji yang sangat berpengaruh dalam perubahan pendidikan dan kehidupan keagamaan di Indonesia. Ketika pulang dari Tanah Suci yang kedua (1912), Kiai Dahlan mendirikan organisasi dakwah bernama Muhammadiyah. Ciri khas Muhammadiyah adalah dakwah di bidang kesehatan dan pendidikan. Meskipun mulanya hanya lingkup Yogyakarta, Muhammadiyah kini sudah merambah luar negara, dengan usia yang tidak bisa dibilang muda. Kala itu, Kiai Dahlan berhasil mendirikan Pondok Muhammadiyah (1921). Tidak lama, pada 1923, berdirilah empat sekolah kelas II, yaitu Hollandsch Inlandsche School dan sekolah guru (kweekschool). Kiai Dahlan juga mendirikan Al-Madrasatul Wutsqo.

Ulama haji yang juga mempunyai peran tidak kecil dalam jalur pendidikan adalah KH Hasyim Asy’ari. Pada 1899, Kiai Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang. Jika pendidikan Kiai Dahlan memakai sistem klasikal, Pesantren Tebuireng bersistem non-klasikal, dengan metode sorogan dan bandongan. Adalah Maksum, menantu Kiai Hasyim, yang berinisiatif supaya Pesantren Tebuireng memakai sistem klasikal dan menambah pelajaran sekuler (bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi). Dari pesantren ini, berdiri organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926.

 

Belum lagi peran ulama haji di Ponorogo. Kota Reog itu telah melahirkan lembaga pendidikan bernama Tarbiyatul Athfal pada 1926. Adalah tiga bersaudara, yaitu Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani, dan Imam Zarkasyi yang membidani kelahiran lembaga pendidikan yang kelak populer dengan sebutan Pesantren Gontor. Seiring waktu berjalan, keberadaan Pesantren Gontor semakin dilirik masyarakat. Ciri khas pendidikan Pesantren Gontor adalah bahasa Inggris dan bahasa Arab sebagai lingua franca santri. Tidak sedikit tokoh bangsa ini lahir dari rahim Pesantren Gontor.

Tegasnya, haji telah melahirkan spirit altruisme yang dahsyat bagi pelakunya. Memang, Allah tidak mungkin mewajibkan haji jika sekadar sebagai pariwisata. Tetapi, alangkah prihatin kita saat ini. Ribuan tamu Allah datang dari negeri ini setiap tahun, tetapi tidak melahirkan perubahan signifikan. Tidak tampak kesan positif berupa perubahan karakter pada pelakunya. Tampaknya ibadah haji kini dimaknai sebatas topeng sosial. Nasib bangsa tidak kunjung membaik justru di tengah semaraknya pesta ibadah.

Padahal, mabrur adalah impian setiap pelaku haji. Sesuai akar katanya, mabrur berarti baik. Jika demikian, tidak salah kita berharap bahwa jika setiap tahun peserta haji selalu antri, maka kondisi negeri akan segera pulih. Tentunya tidak semua alumni haji harus mendirikan sekolah atau menjadi politisi. Beberapa gambaran peran di atas sekadar contoh. Setiap alumni haji bisa berperan sesuai bidang dan kapasitas masing-masing diri. Bukan untuk mendongkrak status dan kekayaan pribadi, melainkan berkorban demi kepentingan negeri.

Altruisme tidak terbatas tempat, waktu, dan posisi. Politisi membudayakan mentalitas dan moralitas bersih. Pendidik mengasuh murid bagaikan buah hati sendiri. Pedagang mencari keuntungan tanpa berlaku curang. Pegawai bekerja secara profesional tanpa serba menuntut kenaikan gaji. Hartawan menyisihkan kekayaan guna meringankan yang kekurangan. Ilmuwan memaksimalkan pikiran demi tegaknya peradaban. Tokoh agama berdakwah tanpa menjadikan Islam sebagai sapi perah. Seniman mengeksplorasi alam tanpa merancukan makna keindahan. Petani merawat tanaman di sawah tanpa pelit bersedekah.

Berhasil melampaui fase paripurna dalam berislam, sepantasnya alumni haji mampu menjadi pionir altruisme dalam segala lini kehidupan. Alangkah sia-sia sekiranya gelar haji hanya sebatas identitas sosial, tanpa mampu menyuntikkan spirit altruisme guna memajukan bangsa dan negara.

Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: [email protected]

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement