Sabtu 12 Oct 2013 07:32 WIB

Pakar Ragukan Sistem Demokrasi di Myanmar

Red:
Myanmar
Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, -- Meskipun proses reformasi demokrasi di Myanmar terus menuai pujian masyarakat internasional, namun sejumlah pakar  menilai sistem hukum di negara tersebut masih harus menempuh jalan panjang untuk bisa mencapai standar global.

Pandangan ini disampaikan Dr. Melissa Crouch, peneliti dari Pusat Studi Hukum Asia di Universitas Nasional Singapura.

Dalam laporan terbaru yang diterbitkan Asosiasi Bar Internasional, lembaga ini mengidentifikasi sejumlah sektor di Myanmar yang dinilai belum memenuhi standar hukum internasional.

Dr. Crouch yang merupakan salah satu editor dari kajian yang bertujuan menyoroti tantangan hukum yang dihadapi Myanmar dalam masa transisi menuju negara demokrasi.

Kajian sebanyak 20 pasal itu akan diterbitkan tahun depan, isinya menggambarkan kemajuan yang sudah berhasil dicapai oleh berbagai kawasan di Myanmar yang bisa menjadi panduan.

"Kajian ini berupaya memotret pencapaian reformasi di tingkat pembuatan Undang-undang yang saat ini telah berlangsung di Myanmar," kata Dr. Crouch  kepada  program Asia Pacific Radio Australia.

Keterlibatan Militer

Dr. Crouch mengatakan aturan hukum, yang tengah disusun dibawah pengawasan militer, menjadi isu utama yang menuai keprihatinan banyak kalangan di Myanmar. "Aturan hukum tengah menjadi buah bibir di Myanmar,” katanya.

"Ada banyak pembahasan dan debat di media saat ini mengenai revisi konstitusi Myanmar sebelum digelar pemilu  tahun 2015.”

Seperti diketahui Myanmar akan menggelar Pemilu Presiden pada 2015 mendatang.  Konstitusi yang  berlaku saat ini tidak membolehkan tokoh pemimpin oposisi  Aung San Suu Kyi mencalonkan diri.

"Yang menurut saya sangat penting adalah seluruh warga Myanmar  bisa secara jujur dan terbuka membahas mengenai seperti apa bentuk konstitusi baru negara mereka nantinya dan bagaimana  konstitusi itu bisa diperkuat sesuai dengan konteks khusus dinegaranya,” kata Dr. Crouch.

Konstitusi yang saat ini berlaku di Myanmar masih membolehkan petinggi militer duduk di parlemen.

"Karena jika  Myanmar menghendaki transisi yang utuh menuju demokrasi, militer  tidak boleh lagi berada di parlemen. Militer juga tidak boleh memiliki kekuasaan untuk memilih kabinet seperti yang saat ini terjadi,” tegas Dr. Crouch.

Terbuka untuk bisnis

Myanmar akan menjadi tuan rumah pertemuan ASEAN tahun depan setelah mengambil alih tongkat kepemimpinan organisasi  yang beranggotakan 10 negara di Asia Tenggara itu.

Meski diterpa banyak isu keprihatinan, termasuk kegagalan pemerintah mengontrol kekerasan sectarian dan pertanyaan mengenai penerapan aturan hukum, faktanya semakin banyak negara dan perusahaan yang melakukan kerjasama bisnis dengan Myanmar.

Dr. Crouch mengatakan sejumlah perubahan atau reformasi penting sudah diterapkan di Myanmar.

"Misalnya, sudah ada hukum dan aturan yang disahkan mengenai investasi asing dan begitu juga aturan mengenai zona ekonomi,” tuturnya.

"Banyak dari transisi hukum ini, implementasinya  masih dalam tahap awaljadi masih butuh waktu cukup lama  untuk bisa membuktikan bagaimana pastinya aturan itu diterjemahkan dan dilaksanakan dalam praktek sehari-hari.”

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement