YOGYAKARTA -- Siraman merupakan salah satu rangkaian acara pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro yang dilaksanakan di hari pertama, Senin (21/10).
Pada upacara siraman yang dimulai pukul 10.55, permaisuri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas, Senin (21/10) memimpin langsung upacara siraman GKR Hayu dengan KPH Notonegoro.
Upacara siraman calon pengantin putri dan pria dilakukan secara terpisah yakni GKR Hayu di Bangsal Sekar Kedathon dan KPH Notonegoro di Bangsal Kasatriyan, Kompleks Kraton Yogyakarta.
Siraman dilakukan sebagai simbol menyucikan diri. Siraman diharapkan dapat menjadikan seseorang bersih secara jasmani maupun rohani.
Sebelum siraman, GKR Pembayun yang merupakan kakak dari GKR Hayu mengutus adiknya GKR Maduretno yang didampingi oleh abdi dalem Sipat Bupati dan abdi dalem Keparak untuk mengambil air dari tujuh sumber.
Siraman menggunakan air dari tujuh sumber di Kraton (Dalem Bangsal sekar Kedhaton, Dalem Regol Manikhantoyo, Dalem Bangsal Manis, Dalem Regol Gapura, Dalem Regol Kasatriyan, Dalem Kasatriyan Kilen dan Gadri Kagungan Dalem Kasatriyan).
''Hal itu melambangkan bahwa semua yang memiliki hajatan adalah Sultan dan semua yang ada di Kraton sudah mendapatkan restu,'' Kata Ketua Panitia Penyelenggara Prosesi Pernikahan di Kraton Yogyakarta KRT Yudahadiningrat.
Di samping itu tujuh sumber itu melambangkan petunjuk. Sehingga diharapkan para calon pengantin dalam menjalani kehidupannya mendapat petunjuk dan pertolongan dari Allah swt.
Tujuh sumber air itu ditaburi kembang setaman, yakni roncean bunga-bunga yang mempunyai makna supaya perilaku sehari-hari selalu memberikan keutamaan dan contoh. Air tersebut kemudian diguyurkan ketubuh calon mempelai putri GKR Hayu yang di kepala dan tubuhnya dibalut dengan roncean bunga melati.
Guyuran pertama dilakukan oleh ibunda calon mempelai putri GKR Hemas.Kemudian dia memborehkan mangir di badan GKR Hayu dengan beberapa warna antara lain: berwarna kuning simbol kemuliaan, biru simbol kekuatan jiwa raga, putih lambang membersihkan lahir dan batin)
Lalu siraman dilanjutkan oleh sesepuh keluarga Kraton (GBRAy Murdokusumo (Kakak HB X), BRAy. Purboyo (adik HB IX) dan guyuran terakhir siraman dilakukan oleh Mooryati Soedibyo. Yang melakukan siraman jumlahnya selalu ganjil sebagai lambang keabadian dan tanda pengakuan segala kekurangan.
Prosesi terakhir siraman berupa pemberian air dari klenthing untuk berwudlu oleh Nyai Kangjeng Raden Penghulu Dipodiningrat kepada GKR Hayu. Setelah air dari klenthing habis, klenthing dipecahkan oleh GKR Hemas sambil berkata, '' Kanthi pecahing klenthing iki, pecah pamore anakku (red. bersamaan dengan pecahnya klenthing ini, pecah pula pamor anak saya).''