REPUBLIKA.CO.ID, LUXEMBURG -- Pejuang kemanusiaan Myanmar, Aung San Suu Kyi, mendesak negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) pada Senin (21/10) untuk menekan Myanmar agar mereformasi konstritusi yang dinilai tidak demokratis. Konstitusi yang dimaksud Suu Kyi tersebut melarang perempuan untuk menjadi calon presiden.
Pemimpin kelompok oposisi Myanmar itu berada di Luxemburg untuk bertemu dengan menteri-menteri luar negeri negara anggota Uni Eropa. Di sana dia mengatakan bahwa konstritusi di negaranya mengharuskan seorang calon presiden untuk mempunyai pengalaman militer dan dengan demikian meminggirkan hak perempuan dalam berpolitik.
Konstitusi tersebut juga menghalangi Suu Kyi menjadi calon presiden pada 2015 karena melarang setiap orang yang mempunyai anak tidak berkewarganegaraan Myanmar. Suu Kyi dan suaminya, seorang warga Inggris bernama Michael Aris, mempunyai dua anak yang berstatus sebagai warga negara Inggris.
Uni Eropa sendiri telah mendesak Myanmar untuk mengamademen konstitusinya. Namun Suu Kyi mengatakan bahwa desakan tersebut harus dilakukan dengan lebih keras. "Karena kecuali undang-undang dasar ini diamandemen, maka kami harus menilai bahwa pemerintah yang berkuasa saat ini tidak tertarik para agenda reformasi," katanya seperti dilansir dari Reuters, Selasa (22/10).
Suu Kyi mengatakan bahwa mengubah konstitusi bukan merupakan hal yang mudah karena membutuhkan lebih dari 75 persen suara wakil rakyat. Sebanyak 25 persen kursi di parlemen dikuasai oleh mereka yang ditunjuk oleh militer. Perubahan konstitusi juga dinilai dapat membantu penyelesaian konflik etnis di Myanmar, demikian Suu Kyi mengatakan.
Presiden Myanmar Thein Sein, yang berkuasa sejak Maret 2011, telah memulai serangkaian reformasi politik dan ekonomi yang membantu negaranya menghentikan pengucilan masyarakat internasional. Suu Kyi, yang sebelumnya 15 tahun menjadi tahanan rumah pada masa junta militer, diizinkan kembali ke politik dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi memenangi pemilu parlemen pada tahun lalu.
Pada Selasa, Suu Kyi akan mengunjungi Parlemen Eropa di Strasbourg untuk menerima penghargaan hak asasi manusia Sakharov. Dia memenangi penghargaaan tersebut pada 1990 namun sampai sekarang belum diambil.