REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sedikitnya 237 pabrik rokok yang beroperasi di wilayah Malang raya mati dengan sendirinya akibat ketatnya regulasi yang ditetapkan pemerintah. Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok (Formasi) Hari S Soewandi di Malang, Jumat (25/10), mengatakan pabrik rokok yang kolaps ini karena tak mampu mengikuti kebijakan pemerintah, baik yang berkaitan dengan penggunaan tembakau, cukai maupun pajak yang cukup tinggi.
"Pada tahun 2010, jumlah pabrik rokok di Malang raya sebanyak 314, namun saat ini hanya 77 pabrik saja yang masih bertahan. Dan, 77 pabrik rokok yang tersisa inipun kondisinya juga memprihatinkan, tidak mampu berkembang, bahkan bisa dikatakan 'mati suri'," paparnya.
Ia mengeluhkan regulasi dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri rokok tersebut terlalu rumit dan mematikan industri rokok skala kecil, apalagi saat ini banyak pabrik skala besar yang juga bermain di pasar industri rokok skala kecil. Padahal, lanjutnya, pangsa pasar pabrik rokok skala kecil dan besar itu berbeda, namun industri skala besar ini sekarang juga merebut pasar pabrikan kecil.
"Kalau pabrik rokok besar bermain atau menjual harga rokok di kelas mild dengan harga sama, otomatis konsumen akan memilih yang sudah punya nama besar. Kondisi ini yang menjadikan pabrik-pabrik kecil gulung tikar, disamping karena regulasi yang tidak memihak pabrikan skala kecil," ungkapnya.
Bahkan, tegasnya, jenis tembakau untuk rokok mild seharusnya juga ada aturannya yang jelas dan tegas, yakni harus impor bukan memakai tembakau lokal. "Komitmen pemerintah untuk mengatur pabrik rokok ini harus jelas seperti apa. Jika rokok kretek yang menjadi produk utama pabrik skala kecil ini nilai pajaknya juga tinggi, terus bagaimana, sebab rokok kretek yang diolah tangan ini adalah warisan budaya yang tidak bisa dihilangkan begitu saja," terangnya.