REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Komisi Pemberantasan Korupsi terus berupaya mempersempit ruang gerak para koruptor yang lari ke luar negeri melalui serangkaian kerja sama dengan pihak pemerintah negara-negara sahabat seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam, Filipina dan lainnya.
"Kita ingin pastikan tidak ada lagi surga bagi koruptor yang lari ke luar negeri," kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dalam kunjungannya ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Kamis (31/10).
Dia menjelaskan keberadaannya di Malaysia sejak Rabu (30/10) itu dalam rangka penandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan pihak Sekretariat Pencegahan Korupsi Malaysia (SPRM) untuk meningkatkan kerja sama dalam menangani masalah korupsi.
MoU itu diharapkan dapat meningkatkan kerja sama dalam berbagai aspek pertukaran informasi penyelidikan, pendakwaan dan penetapan saksi terutama melibatkan kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, pencucian uang serta pengambilan aset.
"Kerja sama untuk mendapatkan keterangan dari para saksi sehingga dapat membantu investigasi menyangkut kasus korupsi yang ada hubungannya dengan Indonesia dan begitupula sebaliknya, ada hubungannya dengan Malaysia," kata dia.
Selama pertemuannya dengan pihak SPRM, Abraham menginginkan Indonesia juga mempersiapkan infrastruktur yang memadai seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia.
Ia menjelaskan infrastruktur kelembagaan SPRM ini besar sekali bahkan kantornya pun mencapai lima hektare dengan jumlah SDM yang memadai. Dibandingkan KPK, dengan kasus yang banyak hanya memiliki 60 orang penyidik sehingga masing-masing penyidik bisa menangani 10 kasus.
Idealnya, ungkapnya, jumlah penyidik KPK ditambah, juga setiap propinsi di Tanah Air ini harus ada cabang KPK.
Menurut Abraham, ekspektasi masyarakat terhadap KPK dalam penanganan kasus kasus korupsi terlalu tinggi sementara kemampuan para penyidik terbatas. Itulah, imbuhnya, yang membuat KPK dinilai lamban dalam penyelesaian kasus yang ditanganinya.