REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Mahkamah Konstitusi (MK) mestinya tidak boleh melakukan pemilihan ketua, menggantikan Akil Mochtar. Alasannya, pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana, Johanes Tuba Helan mengatakan, MK masih menghadapai masalah hukum.
Situasi itu terkait penangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu, karena kasus dugaan suap pilkada, kata mantan Ketua Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur itu di Kupang, Senin (4/10).
"Sesungguhnya MK sedang bermasalah maka jangan pilih ketua baru dulu. Tunggu sampai masalah selesai, termasuk mengganti ketua," kata Johanes Tuba Helan terkait pemilihan Hamdan Zoelva sebagai Ketua MK periode 2013-2016 menggantikan Akil Mochtar.
Menurut dia, dalam peraturan perundang-undangan memang memberikan penegasan bahwa jika terjadi kekosongan kekuasaan ketua MK, institusi itu dapat memilih ketuanya yang dihadiri minimal tujuh hakim.
Namun, kekosongan kekuasaan di MK bukan karena ketua MK mengundurkan diri atau menerima tugas lain, tetapi karena berkaitan erat dengan masalah hukum, yang ada hubungan dengan tugas-tugas MK.
Karena itu, mestinya hakim MK lainnya fokus untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga itu, bukan memilih pengganti Akil Mochtar.
MK kata Johanes Tuba Helan, bisa dipimpin sementara oleh salah satu hakim MK yang dipercayakan, sampai masalah Akil Mochtar ini diselesaikan.
"Kalau soal ada hubungan dengan perppu atau tidak, sama sekali tidak karena perppu tidak mengatur pemilihan ketua MK jika terjadi krisis kepercayaan terhadap lembaga itu," ucapnya.