Kamis 07 Nov 2013 16:07 WIB

LSM Yogya Deklarasikan Yogya Darurat Kekerasan

Rep: Yulianingsih/ Red: Djibril Muhammad
Kraton Yogyakarta
Foto: Antara/Noveradika
Kraton Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di DI Yogyakarta bersatu padu dalam Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (MAKARYO) mendeklarasikan Yogya Darurat Kekerasan dan Yogya Darurat Perlindungan Hak Asasi Manusia di depan Pagelaran Kraton Yogyakarta, Kamis (7/11).

Deklarasi ditandai dengan penandatanganan bersama terhadap deklarasi tersebut, orasi dan spanduk-spanduk bertuliskan penolakan masyarakat Yogya terhadap berbagai tindak kekerasan yang ada.

Benny Susanto, Koordinator Umum MAKARYO mengatakan, pihaknya mencatat sedikitnya ada 18 kasus kekerasan terjadi di DIY sejak 1996 hingga 2013. "Beberapa kasus sudah masuk pengadilan namun hingga saat ini kasus-kasus tersebut tak berujung pada titik terang yang jelas," ujarnya di sela-sela aksi deklarasi.

Selain 18 kasus kekerasan besar di DIY tersebut kata dia, akhir-akhir ini tindak kekerasan juga semakin meningkat. Belum lama kata dia, ada aksi kekerasan sekelompok orang pada diskusi anak-anak eks Tahanan Politik 65 di Godean dan ancaman sekelompok orang terhadap korban kekerasan yang akan melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

"Dan lagi-lagi kita melihat dengan jelas ada aksi pembiaran oleh negara. Negara mengabaikan kewajibannya untuk melindungi hak asasi warganya," katanya.

Tindak pembiaran ini kata dia, justru akan memperpanjang dan meningkatkan aksi kekerasan yang ada. Karenanya masyarakat di DIY akan dihantui dengan kecemasan dengan tidak adanya jaminan rasa aman dari negara dalam hal ini aparat penegak hukum.

Karena itulah, LSM se-DIY ini menuntut agar aparat penegak hukum dan pejabat publik menuntaskan kasus kekerasan yang ada. Mereka juga mendesak Polri dan Polda DIY menangkap aktor-aktor intelektual diibalik kasus tersebut. "Kami juga mendesak agar Kraton Yogyakarta proaktif mengawal penuntasan proses hukum terhadap kasus kekerasan yang ada dan proaktif mencegak munculnya tindak kekerasan yang ada," ujarnya.

Rani Pribadi, salah satu anggota LSM yang tergabung dalam MAKARYO mengatakan, kasus kekerasan di DIY diperkirakan akan meningkat menjelang Pemilu 2014. Karenanya melalui deklarasi tersebut, pihaknya ingin mengingatkan masyarakat secara umum dan negara untuk semakin meningkatkan kewaspadaanya. 

Menurut catatan MAKARYO 18 kasus kekerasan di Yogyakarta yang tak kunjung selesai penangananya tersebut adalah, penganiayaan yang berujung meninggalnya wartawan Udin (1996), penyerangan acara kerlap-kerlip warna kedaton di Kaliurang (2000), Perusakan Lembaga Ombudsmen Swasta DIY ( 2008), Pembubaran Pelatihan Nasional Forum Sekolah Bersama (2008), Penyerangan Sanggar Candi Busana Parengkembang, tempat ibadah Sapta Darma di Gamping, Sleman (2008) dan Pembubaran Q Film Festival (2010).

Selain itu kasus penghentian doa keliling di Bantul (2011), ancaman terhadap peringatan IDAHO (2011), pembubaran diskusi dan perusakan kantor LKiS (2012), kekerasan oknum polis terhadap anak Reza Gunungkidul (2012), pengeroyokan terhadap seniman Bramantyo Prijosusilo oleh Majelis Mujahidin Indonesia di Kotagede (2012), pembubaran pengajian di SMA PIRI (2012).

Kasus lainnya penghentian pemakaian gua maria di Gedangsari Gunungkidul (2012), kekerasan terhadap Huda (2012), penembakan tahanan di Lapas Kelas II B Cebongan Sleman (2013), perusakan makam cucu Hamengku Buwoni VI (2013), penembakan sipil Lapas Wirogunan (2013) dan pembubaran diskusi keluarga eks tapol 65 di Godean (2013).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement