REPUBLIKA.CO.ID,
Spiritualitas mewujud pada sikap arif dalam kesejatian maknanya.
Bila merenung sejenak, manusia kerap mempermainkan Sang Khalik. Saat diterpa masalah, kian mendekat. Kala hari-hari penuh nikmat, tak pernah diingat. Pada saat bergelimang harta, Allah dilupakan. Pada saat manusia sampai kepada titik nadirnya, Allah didatangkan.
Kepala Pusat Penelitian Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama Prof Dedi Djubaedi menyatakan, pada saat manusia terjebak dalam kompleksitas persoalan dunia, seperti kesulitan ekonomi, kegalauan politik, kekerasan, kemiskinan, dan bencana alam, manusia kerap mengingat Allah.
Hal sama juga terjadi saat manusia mengalami konflik sosial dan agama, radikalisme, pornografi, narkoba, korupsi, dan kenakalan remaja.
Semuanya dapat menghentikan nalar, mematikan asa, dan kecerdasan emosional. “Mestinya spiritualitas menjadi kekuatan pamungkas,” jelas guru besar ilmu tasawuf ini.
Spiritualitas itu mewujud pada sikap arif dalam kesejatian maknanya. Kearifan melampaui pengetahuan biasa, cakrawala politik, interest ekonomi, ego sektoral, dan fanatisme golongan.
Lihat Padang Arafah yang jadi simbol universalitas dan globalitas pengetahuan spiritualitas. Keluasan spiritualnya membangun kebersamaan sejati, persaudaran abadi, dan meluluhlantakkan disparitas dan diskriminasi.
Muslim yang produktif dipastikan memiliki spiritual power. Setiap langkah dan usaha kerasnya dilumuri kekuatan Ilahi yang memancar dari asma Allah, seperti al-Khaliq atau yang Mahakreatif.
Muslim seperti itu memiliki daya tahan dari al-Qawi, yaitu Tuhan, keuletan, kesabaran dari as-Shabur, dan asma baik lainnya.
Bagaimana tidak seluruh persoalan diyakini akan diselesaikan dengan kuasa Ilahi. Spirit hasbiyallah yang mengiringi kekuatan pikiran dan kekuatan usahanya, lalu mengakhirinya dengan la haula wala quwata illa billah. “Itulah urgensi spiritual,” paparnya.
Pimpinan Pondok Pesantren Ummul Qurro, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, KH Syarief Rahmat menyatakan, umat Islam harus berpedoman kuat kepada tauhid agar dapat selalu memiliki kekuatan spiritual.
Ingat kepada Allah membuat manusia selalu terlindungi dari arogansi dan bersikap hati-hati menyikapi kehidupan duniawi.
Ketika sudah berpedoman pada tauhid, manusia akan menerima berbagai takdir dari Allah, apakah itu kebaikan atau keburukan.
Ini akan menciptakan kebersihan batin. Manusia nantinya akan terhindar dari sikap tercela yang membahayakannya dan orang lain.
Ketika berhadapan dengan orang lain, dia akan bertutur kata santun, menghargai eksistensi orang lain, dan menjauhkan diri dari sifat merusak.
Ada perasaan batin sangat kuat, yaitu selalu diawasi Allah. Kiai Syarif menyatakan, orang seperti ini nantinya akan mengenal Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dia akan mengejawantahkan keindahan Allah dalam perilaku sehari-hari.
Dasar pedomannya tetap, akidah Islam. Harus tetap beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, kiamat, dan takdir.
Dua kalimat syahadat harus tetap tertanam dan dihayati. Pada saat itulah hati seseorang dipenuhi dengan hadirnya kebenaran Allah. Hatinya selalu berhubungan dengan nur Ilahi.
Hati kemudian menyadari segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin, seperti melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berpikir, dan sebagainya, semua hanyalah kepada Allah SWT. Dialah yang menciptakan dan menggerakkan.
Kiai Syarif menyatakan, keadaan semacam ini tidak didapat lewat pengalaman indrawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian kalbu yang mendapat ilham atau limpahan cahaya Tuhan. Di sini tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indra dan tidak terjangkau oleh akal.