REPUBLIKA.CO.IDSEMARANG--Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R. Siti Zuhro memandang perlu Pemerintah memersonanongratakan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, terkait dugaan kantornya menjadi markas penyadapan.
"Tindakan persona nongrata ini sebagai refleksi hukuman terhadap Dubes Australia yang mengizinkan kantornya (Kedutaan Besar Australia di Indonesia, Jakarta, red.) jadi markas penyadapan," kata Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A. ketika dihubungi dari Semarang, Rabu malam.
Menurut alumnus jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember itu, pelanggaran yang dilakukan oleh Australia dengan menyadap pembicaraan sejumlah pejabat Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menghilangkan kepercayaan Indonesia terhadap Negeri Kanguru itu.
Dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu menekankan bahwa menggunakan kantor Kedutaan Besar Australia di Indonesia sebagai markas penyadapan sangat keji, tidak etis, dan tidak bermoral.
"Seharusnya Indonesia merespons masalah ini dengan tegas dan tidak mengenal kompromi supaya menjadi pelajaran tak terlupakan bagi sindikat penyadap," kata Wiwieq, sapaan akrab R. Siti Zuhro.
Wiwieq yang juga alumnus the Flinders University, Adelaide, Australia, mendukung penarikan Duta Besar RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema dari Negeri Kanguru tersebut, termasuk memutuskan kerja sama militer dan mengusir Dubes Australia dari Jakarta.
Ia juga menyatakan bahwa tindakan tegas terhadap negara tersebut perlu diambil untuk menunjukkan bahwa Australia telah melukai Indonesia dan tidak bisa dipercaya.
"Sebab, kalau Indonesia terkesan lembek, yang akan datang negeri ini akan dijadikan bulan-bulanan dan permainan negara tetangga seperti Australia," kata alumnus Curtin University, Perth, Australia, itu.