REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah mendapatkan angin segar dari Kapolri yang membolehkan polwan untuk berhijab, kini institusi Polri menunda pembolehan itu. Alasannya, belum ada aturan yang jelas yang mengatur soal kedisiplinan berpakaian.
Menanggapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan kekecewaannya. Bahkan MUI sempat curiga, apakah Polri hanya membohongi publik soal kebijakan tersebut.
"Kita mengecewakan hal ini. Sudah diumumkan dan sudah ada yang melakukan untuk memakai jilbab, sekarang kok ditunda," ujar Ketua MUI Amidhan saat dihubungi Republika, Sabtu (30/11).
Amidhan mengatakan, seharusnya petinggi Polri bisa memaklumi. Memang diawal-awal ada ketidakseragaman yang ditimbulkan. Tapi hal itu hanyalah masalah kecil dan bisa disikapi secara bijak.
"Kalau soal (jilbab) yang warna-warni, mungkin awal-awal ya begitu, karena yang dia punya cuma itu," jelasnya. Apalagi soal anggaran untuk melaksanakan peraturan pembolehan berjilbab tersebut merupakan biaya pribadi. Polwan yang berjilbab tidak membebankan kostum jilbab mereka kepada institusi polri.
"Soal anggaran, mereka siap dengan biaya sendiri kok. Kalau soal (jilbab) warna warni bisa diatur sesuai dengan warna polisi, hitam misalnya," tutur Amidhan. "Ini ditunda, atau malah dihentikan?" sambungnya.
MUI terus mendesak Polri agar memberikan keterangan yang pasti. Jika memang ditunda, ia meminta Humas Polri untuk menjelaskan sampai kapan penundaan tersebut. "Sampai kapan? harus jelas dong. Tidak boleh hanya wacana. Ini menyangkut hukum dan kedisiplinan Polri sendiri," ujarnya.
Amidhan mengisahkan, di negara-negara Muslim lainnya tidak ada masalah jika mereka memakai jilbab atau atribut keislaman. Ia juga menceritakan salah seorang tentara di negara tetangga yang memakai serban. "Padahal dia tentara lho," tuturnya.