Senin 09 Dec 2013 16:47 WIB

Indef: 2013, Kita Masih Jadi Bangsa Impor

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
 Pekerja memindahkan sapi impor Australia ke atas truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/10).     (Republika/ Wihdan)
Pekerja memindahkan sapi impor Australia ke atas truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/10). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Peneiti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menyebutkan bahwa di tahun 2013 ini ketergantungan impor Indonesia pada komoditas pangan kian meningkat. Ia menilai impor bidang pangan sudah terjadi pada semua komoditas, mulai dari beras, daging, kedelai, gula, bahkan garam.

“Sebagai negara kelautan, cukup memalukan jika garam saja kita masih impor,” katanya saat diskusi panel yang diadakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan tema ‘Membangun Eknomi Nasional yang Kokoh’ di Malang, Jawa Timur (Jatim), Senin (9/12).

Padahal, dia melanjutkan, lebih dari 30 persen tenaga kerja Indonesia bergerak di bidang pertanian. Karena itu, ia memandangmacetnya produksi pangan kita memiliki efek ganda. Dari sisi negara hal itu berdampak besar pada inflasi, sementara dari sisi rakyat bisa merugikan petani lokal.

Senada dengan Fadhil, pakar ekonomi Universitas Airlangga, Leo Herlambang menyebut ketergantungan tersebut seirama dengan fakta bahwa Indonesia lebih identik dengan bangsa konsumen ketimbang produsen. “Kita kurang percaya diri dengan apa yang kita miliki, dan hal itu berimplikasi langsung pada rendahnya daya beli pada produk sendiri,” ujarnya.

Leo memaparkan bahwa saat ini investor asing sudah menguasai hampir semua lini komoditas Indonesia. Bahkan,  jika para investor asing itu sulit menguasai pasar lokal dengan merek mereka, yang akhirnya mereka lakukan adalah membeli merek lokal yang sudah terlanjur disukai pasar Indonesia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika mengungkapkan, saat ini Indonesia dihadapkan pada fakta ekonomi yang berlawanan. Fakta pertama adalah banyaknya pengakuan internasional terhadap prestasi ekonomi kita yang meningkat. Kemudian fakta kedua adalah melebarnya ketidakadilan ekonomi dalam konteks domestik. “Jadi kita ini secara eksternal stabil, tapi secara internal keropos,” tuturnya.

Sementara pakar ekonomi politik Universitas Nasional (Unas) Jakarta Alfan Alfian menganggap bahwa situasi ekonomi Indonesia memiliki pengaruh signifikan pada Pemilu 2014 mendatang. “Karena sebaik apapun sistem pemerintahan kita, kalau ekonominya tidak stabil maka percuma saja,” ujarnya.

Pada acara diskusi tersebut hadir pula Rektor UMM Muhadjir Effendy. Dalam sambutannya, Muhadjir menyebut kegiatan diskusi tersebut sangat penting untuk menganalisis situasi ekonomi bangsa sepanjang tahun ini sekaligus menjadi pegangan dalam membaca ekonomi Indonesia 2014.

Dia juga menyebutkan, salah satu hal yang membuat ketahanan ekonomi kita cukup stabil adalah pasar domestik kita yang sangat besar. “Sayangnya, pasar domestik ini juga menjadi sasaran empuk bagi negara lain, karena itulah kita perlu memiliki daya saing internasional,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement