REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana untuk menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) terus bergulir. Selain harus menempuh amandemen UUD, diperlukan juga komitmen politik untuk menjalankannya.
"Harus ada komitmen politik yang jelas sehingga tidak akan ada manuver amandemen kebablasan," ujar politisi PKS Ahmad Rilyadi kepada wartawan, Kamis (12/12).
Komitmen itu sangat diperlukan, lanjut dia, karena sejak reformasi UUD telah mengalami empat kali amandemen. Dengan mengamandemen UUD, maka ada konsekuensi yang harus dijalankan terkait ketatanegaraan.
Riyaldi menjelaskan dulu GBHN adalah produk MPR dan presiden sebagai mandataris. Sekarang, saat presiden langsung dipilih rakyat semua menjadi berubah. "Lantas apa GBHN akan mengikat presiden juga?" ujarnya.
Namun begitu menurut pengurus DPP PKS ini, keberadaan GBHN bisa memberi standar penilaian keberhasilan pembangunan akan lebih terukur dan objektif.
"Jika disepakati, GBHN juga mengurangi celah klaim keberhasilan yang bernuansa pencitraan, karena paramater sudah jelas," ucapnya.
Wacana menghidupkan kembali GBHN pertama kali disampaikan ketua MPR RI Sudarto Danusubroto. Sejumlah fraksi DPR pun menyambut positif usulan tersebut. Wacana ini lagi-lagi menguat dalam Forum Pemred beberapa hari lalu.