REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah/Ferry Kisihandi
Singapura dan Kanada sudah memproduksi obat halal.
JAKARTA -- Hampir semua jenis obat di Indonesia memiliki kemungkinan tidak halal. Penyebabnya, 90 persen bahan baku obat di Indonesia adalah bahan impor yang belum mempertimbangkan kehalalan dalam proses produksinya. Kondisi ini juga mempersulit proses sertifikasi obat halal di Indonesia.
"Artinya ini bukan sekadar masalah teknologi, tetapi juga karena pengetahuan dan motivasi produksi halal," ujar Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukman Hakim, Ahad (15/12).
Secara ilmu dan teknologi, kata Lukman, sangat terbuka kemungkinan memproduksi dengan cara halal. Menurut Lukman, sertifikasi halal bagi produk farmasi penting sebagai upaya mengidentifikasi unsur obat tersebut sehingga memudahkan konsumen untuk memilih.
Bagi obat yang tak halal dan tak ada alternatif penggantinya, untuk sementara dapat digunakan dengan alasan kedaruratan. Sementara, para ahli farmasi mencari bahan dan teknologi untuk menjawab solusi kehalalannya.
Pendiri Halal Corner, Aisha Maharani, mengatakan, LPPOM MUI berkampanye sejak 2005 untuk mendorong perusahaan obat mendaftarkan produk agar disertifikasi halal.
Namun, sampai 2013 ini, masih minim obat bersertifikat halal. Ia mengutip data LPPOM MUI, dari 30 ribu item produk obat hanya 22 yang halal.
Aisha mengatakan, ada informasi simpang siur yang diterima produsen obat, khususnya soal biaya sertifikasi. Padahal, kalau dibandingkan dengan sertifikasi lain, harga sertifikasi halal lebih murah.
Di sisi lain, mereka meyakini, meski tak bersertifikat halal, obat mereka tetap dikonsumsi konsumen. Perusahaan obat, kata Aisha, juga harus jujur menuliskan di label produk jika ada bahan baku tak halal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012 menunjukkan, sebanyak 91,04 persen populasi di Indonesia menggunakan obat modern, sedangkan 24,33 persen konsumen obat tradisional.
Data lain menunjukkan, hasil penjualan obat nasional pada 2011 mencapai 4,4 miliar dolar AS atau Rp 44 triliun lebih dengan pertumbuhan per tahun mencapai 11 persen. Obat bebas membukukan pendapatan 40 persen atau Rp 17,6 triliun, sedangkan sisanya dari obat resep.
Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron mengatakan, obat terdapat kandungan tak halal pasti ada keterangan dalam kemasannya. "Sebab, konsumen itu berhak mengetahui isi kandungan obat yang akan dipakainya," kata dia.
Ali menegaskan, obat-obatan di Indonesia kebanyakan memperhatikan aspek kehalalannya, misalnya vaksin pentavalen yang diproduksi PT Biofarma.
Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Rahman Rustan mengatakan, pemilihan bahan dasar vaksin hingga menjadi vaksin sangat memperhatikan kehalalan.
Proses produksi vaksin Bio Farma, kata dia, telah memenuhi persyaratan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO), serta banyak digunakan di negara Muslim
Dosen Fakultas Farmasi UGM Sumantri mengatakan, semua obat di Indonesia sudah bisa diproduksi secara halal. "Kita malu dengan Singapura yang penduduk Muslimnya minoritas justru persentase produk obat halal lebih tinggi daripada Indonesia. Kanada justru berupa berupaya memproduksi obat halal," kata dia, kemarin
n rachmat santosa basarah/neni ridarineni/dyah ratna meta novia