REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Teguh Yuwono, mengatakan partai politik yang bersikap pragmatis tidak akan memedulikan tingginya tingkat golput (golongan putih).
"Bagi parpol yang pragmatis, golput semakin tinggi justru dianggap menguntungkan karena demokrasi menjadi murah. Harga untuk mendapatkan satu kursi legislatif jadi lebih murah," katanya di Semarang, Rabu (18/12).
Ia mencontohkan harga satu kursi DPR semula 10.000 suara, tetapi karena angka golputnya mencapai 50 persen maka harga satu kursi menjadi separuhnya karena yang dihitung hanya perolehan suara yang sah. Bagi parpol yang memilih pragmatis, kata dia, mereka tak perlu merasa susah menaikkan elektabilitas parpol untuk meraup perolehan suara lebih besar karena cukup mengandalkan partisipasi dari pemilih loyal.
"Dari pandangan politik praktis ya seperti itu. Kalau parpolnya bersikap pragmatis, dipercaya atau tidak oleh masyarakat tidak masalah selama masih punya pemilih loyal. Malah politik jadi lebih murah," katanya.
Ditambah lagi, kata pengajar FISIP Undip tersebut, banyaknya kasus, terutama korupsi yang menjerat beberapa politisi elite parpol turut membuat kepercayaan masyarakat terhadap parpol menjadi rendah. "Parpol yang politisinya terjerat kan elektabilitasnya jadi turun, masyarakat jadi kecewa, kemudian memilih golput. Parpol lain yang relatif terbebas dari jerat kasus kan akan diuntungkan," katanya.
Menurut dia, sikap golput masyarakat juga tidak berpengaruh untuk memperbaiki kondisi karena hanya suara sah yang dihitung untuk mendapatkan kursi legislatif, dan justru membuat harga kursi semakin murah. "Memang, bagi parpol yang terjerat kasus berat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Sekarang ini sedang yang mengalami kebangkrutan politik kan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)."
Demokrat dan PKS berat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, katanya, sementara di sisi lain parpol-parpol lain, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerindra sedang 'di atas angin'. "Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, sebenarnya memang perlu adanya tokoh atau figur yang diterima publik, semisal PDI Perjuangan dengan Jokowi. Tetapi, kan tidak semua parpol punya," kata Teguh.