REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah
JAKARTA -- Keterbukaan informasi tentang kandungan obat dinilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum cukup. MUI mendorong industri farmasi untuk melakukan sertifikasi obat halal. Melalui sertifikasi, masyarakat bisa mendapatkan informasi yang utuh mengenai status kehalalan obat.
Ketua Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim mendukung masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kandungan obat. Namun, informasi mengenai kandungan obat tidak cukup tanpa adanya sertifikasi halal.
Jika dilakukan sertifikasi, jelas Lukmanul Hakim, penelusuran dokumen, proses, dan autentikasi melalui uji laboratorium akan dilakukan. Berikutnya, MUI akan mengeluarkan informasi halal kepada konsumen, baik di label produk maupun melalui laman resmi LPPOM.
Menurut dia, melalui sertifikasi akan memastikan semua bahan obat, baik impor maupun produksi dalam negeri, dipastikan kehalalannya. Hal ini karena penggunaan bahan obat dari dalam negeri tidak langsung memenuhi standar kehalalan.
Apalagi, dia tidak melihat adanya penolakan dari industri terhadap anjuran sertifikasi. “Mereka hanya kurang bergairah karena belum ada anjuran untuk itu,” kata dia.
Lukmanul Hakim mengakui, ada konotasi negatif ketika ingin menerapkan sertifikasi halal dalam bidang obat-obatan. Konotasi negatif ini akibat masyarakat tidak mengetahui informasi mengenai sertifikasi halal.
Karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk mengedukasi masyarakat mengenai sertifikasi halal. “Jangan berpolemik, tapi mengabaikan hak konsumen untuk memperoleh informasi terbuka,” ujar Lukman.
Proses edukasi ini dimulai dari pembenahan dari sisi pandangan hukum. MUI juga akan membantu proses edukasi ini. MUI pasti akan menyertai sertifikasi halal dengan fatwa dan penjelasan terkait obat dan penggunaannya.
Dia mencontohkan, obat haram bisa jadi halal kalau dalam keadaan terpaksa. Ini dilakukan karena tidak ada alternatif dan bisa menimbulkan cacat atau kematian jika tidak mengonsumsi obat itu.
Kondisi terpaksa ini bersifat tidak permanen alias bisa selamanya dikonsumsi. Misalnya, vaksin polio belum ada yang halal. Namun, karena pertimbangan mencegah tersebarnya polio, MUI membolehkan. Jika sudah berjalan, kebijakan itu akan lebih jelas dan tidak membingungkan.
Menurutnya, tugas sertifikasi halal ini berbeda dengan labelisasi yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sertifikasi berfokus membela hak perlindungan umat Islam atas produk yang mereka konsumsi, seperti makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika.
Dia membantah bahwa MUI mencari keuntungan keuangan dari sertifikasi halal ini. Aspek keuangan bukan hal terpenting dalam pengurusan sertifikasi halal. “Hal terpenting adalah perlindungan umat,” kata Lukmanul.
Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti sepakat bahwa konsumen berhak mengetahui kandungan obat yang mereka gunakan. Mengenai usulan pembentukan tim khusus gabungan Kemenkes dan MUI untuk membuka informasi kandungan obat, Ali Ghufron mengaku belum mengetahuinya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat menambahkan, MUI memiliki kewenangan sertifikasi halal selama Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal belum disahkan DPR. Aturan tersebut akan mengembalikan kewenangan sertifikasi halal ke pemerintah.
Pemerintah akan tetap melibatkan MUI untuk melakukan proses penetapan halal secara hukum Islam. Karena, halal tidak hanya produknya saja, tapi apa yang terkandung di dalamnya, ujar Bahrul.
MUI akan terlibat mulai dari pengendalian auditor sampai penetapan halal atau tidak sebuah produk secara syari. MUI juga bertugas memantau seluruh produk yang dianggap memunculkan keresahan sehingga bisa dilakukan pemantauan.
Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini, papar Bahrul, tidak hanya mencakup makanan dan minuman, tapi juga obat-obatan dan barang gunaan.
Pengajuan sertifikasi halal itu bukan kewajiban, melainkan permohonan dari pelaku usaha. “Pemerintah yakin walaupun permohonan, sertifikasi halal ini akan meningkatkan daya saing dari produk yang dipasarkan, katanya.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Darojatun Sanusi mengatakan, RUU Jaminan Produk Halal harus mengakomodasi kepentingan industri farmasi.
Produk farmasi berbeda dengan makanan dan minuman. Pembuatan produk farmasi harus melewati proses ketat, tak seperti makanan dan minuman.
Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, produk industri farmasi yang mengandung lemak babi tidak bisa disetarakan statusnya sebagaimana makanan dan minuman.
Karena keterbatasan, terkadang dokter harus memberikan obat-obatan untuk pasien meski di dalamnya memiliki unsur dari tubuh babi.