REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —- Perayaan malam pergantian tahun kini tampaknya sudah menjadi sebuah ajang hura-hura dan pesta pora buat sebagian besar remaja dan kaum muda di Indonesia. Terutama bagi mereka yang tinggal di DKI Jakarta.
Kepada ROL, wartawan senior Alwi Shahab menceritakan perkembangan perayaaan pergantian tahun di ibu kota republik ini, dari dulu hingga kini. Perayaan Tahun Baru di Jakarta, kata dia, sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Namun, dengan bentuk yang agak berbeda dengan sekarang.
Ada sejumlah festival akhir tahun yang digelar di beberapa titik di ibu kota RI yang kala itu masih bernama Batavia. Seperti di daerah Molenvliet (kini Harmoni) misalnya, di sana pernah diadakan perayaan yang terbilang meriah. Pada malam Tahun Baru, beberapa kapal dilepas menyusuri Sungai Ciliwung yang mengalir di kawasan elite tersebut.
“Saat itu, Sungai Ciliwung masih dalam sehingga bisa dilayari. Airnya pun masih jernih, tidak seperti sekarang yang semakin keruh dan dangkal akibat sedimentasi,” tutur pria yang akrab disapa Abah Alwi itu.
Sementara, di sekitar Jl Juanda (dulu bernama Noordwijk) dan Jl Veteran (Risjwijk), para muda-mudi membuat semacam pesta pora hingga larut malam. Tempat-tempat tersebut di masa itu memang termasuk salah satu lokasi pusat hiburan di Batavia. “Kegiatan hura-hura menyambut pergantian tahun ini berlangsung hingga Jepang masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Dari 1942-1945, kata Abah Alwi, tidak ada perayaan Tahun Baru di Jakarta. Ini lantaran adanya pemberlakuan Tarikh Sumera (sistem penanggalan Jepang, red) di seluruh Indonesia kala itu.Begitu pula pada pascakemerdekaan. Dari 1946-1949, juga tak ada acara hura-hura akhir tahun yang digelar di ibu kota RI. Ini dikarenakan pemerintah dan rakyat Indonesia sedang fokus berperang melawan NICA.
Perayaan Tahun Baru mulai diadakan kembali di Jakarta pada masa Gubernur Ali Sadikin yang memerintah sejak 1966-1977. Pada masa itu, perayaannya dibuat secara besar-besaran. Mulai dari acara muda-mudi, hingga membakar petasan di sepanjang jalan yang sempat beberapa kali memakan korban. Lokasi perayaan Tahun Baru di ibu kota saat itu terpusat dari Jl Thamrin hingga Monas (Monumen Nasional).
Bang Ali (panggilan Ali Sadikin) berdiri di tengah-tengah warga yang memadati kawasan tersebut. “Ia dielu-elukan bak seorang raja oleh rakyatnya,” kata Abah Alwi mengisahkan.
Sejak itu, perayaan Tahun Baru di DKI terus mengalami perkembangan. Tempatnya pun semakin banyak. Mulai dari Ancol, hotel-hotel berbintang, dan beberapa bioskop yang memutar film sampai pagi.
“Sampai sekarang, sejumlah hotel di Jakarta rutin menggelar pesta-pesta maksiat dan setiap akhir tahun. Di sana muda-mudi saling berpelukan sambil menenggak minuman beralkohol. Semua yang mereka lakukan hanya untuk duniawi,” papar Abah Alwi.