REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi saran agar pemerintah dan perwakilan rakyat merevisi aturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan pemerintah daerah. Wakil Pimpinan KPK Busyro Muqoddas mengatakan, Undang Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan aturan pemerintah nomor 6 tahun 2005 tidak mendukung etika pemberantasan korupsi.
"Satu-satunya cara adalah meminta pemerintah dan DPR agar mengubah undang-undang itu," kata Busyro usai konpers akhir tahun KPK, Senin (30/12). Menurut dia, regulasi tersebut menjebak KPK dalam menjalankan fungsi pemberantasan korupsi oleh yang dilakukan para pejabat negara.
Sikap pemerintah yang tetap tidak mau menonaktifkan beberapa pejabat daerah, bahkan tetap megangkat pejabat daerah tersangka korupsi, dinilai Busyro menyulitkan kinerja KPK. Terutama dalam hal penyelidikan dan penyidikan.
Seperti diketahui, sepanjang 2013 KPK setidaknya mengeluarkan dua surat rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menonaktifkan dua pejabat daerah. Pertama, memberhentikan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Atut adalah tersangka dua kasus korupsi yang sekarang ditangani KPK.
Namun, sejak ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan sejak sepekan lalu, Atut masih menjabat sebagai gubernur. Hal tersebut menurut Busyro adalah kerugian negara. Sebab pemerintahan tidak akan berjalan dengan status Atut yang saat ini mendekam di Rutan Pondok Bambu.
Sementara, polemik serupa juga terjadi terhadap calon Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah Hambit Bintih. Hambit juga adalah tersangka korupsi berupa suap terhadap Mahkamah Konstitusi. Hambit saat ini ditahan di Rutan Guntur.
Namun Kemedagri berdasarkan regulasi formal menghendaki agar tetap mempertahankan Atut. Bahkan nekat tetap melantik Hambit sebagai penyelenggara negara. Kemendagri punya alasan. Aturan pemberhentian kepala daerah telah diatur dalam UU 32 tahun 2004 dan PP 6 tahun 2005 yang pada intinya pemberhentian hanya bisa dilakukan jika status tersangka menjadi terdakwa.
Busyro menambahkan, secara etika penyelenggara itu harus diberhentikan saja. Prosedural di KPK juga kerap mengirimkan nota penonaktifan pejabat negara yang ditetapkan sebagai tersangka. "Kami meminta agar revisi ini secepatnya. Agar sudah selesai (diberhentikan) ketika dijadikan tersangka," kata dia.
Ketika ditanya pemberhentian itu nantinya diplintir sebagai alat politik, Busyro mengatakan, "penetapan tersangka itu prosedurnya ada. Tidak bisa hanya dengan indikasi-indikasi.