REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar membantah tewasnya sejumlah teroris dalam penggerebekan di Ciputat karena dieksekusi.
"Jadi ini bukan eksekusi, ini adalah upaya penangkapan, penegakan hukum atas berbagai aksi terorisme yang telah mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda milik masyarakat," kata Boy di Jakarta, Jumat (3/1).
Dalam penegakan hukum, katanya, Polri mengemban amanat UU Nomor 15/2003 tentang Penanggulangan Terorisme. Karenanya, harus menaati standar prosedur operasional (SOP) dengan penuh kewaspadaan.
Apalagi, dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku aksi terorisme, sudah banyak korban anggota yang juga gugur dalam bertugas. Belum lagi sifat para pelaku yang rela mati ketimbang harus menyerah.
Padahal, di tiap upaya penangkapan, mantan Kepala Unit Negosiasi Densus 88 Antiteror itu selalu melakukan upaya negosiasi agar mereka menyerahkan diri.
"Sudah banyak contoh petugas kita meninggal dunia kalah cepat ditembak oleh mereka. Jadi kondisinya banyak yang mengatakan ini eksekusi, mohon diluruskan, ini bukan eksekusi, tapi upaya penegakan hukum," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane meminta Polri bersikap lebih transparan dalam kasus teroris agar tidak terlalu gampang berubah menjadi algojo.
"Polri perlu lebih transparan lagi dalam kasus-kasus teroris agar polisi tidak terlalu gampang berubah menjadi algojo," ujarnya.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq juga mengkritik kepolisian terkait penanganan, menangkap, dan menggerebek terduga teroris pada Selasa (31/12) malam.
"Penangkapan terduga teroris diikuti dengan tembak di tempat hingga tewas dan tindakan itu harus ditinggalkan kepolisian," katanya.