Kamis 09 Jan 2014 23:58 WIB

Marak Serangan Keji Terhadap Binatang di Tasmania

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Aktifis penyayang binatang Australia mendesak diterapkannya hukuman yang lebih keras bagi pelaku pelanggaran kekejaman terhadap hewan. Desakan ini disampaikan menyusul terjadinya serangkaian kasus penyerangan terhadap anjing di Tasmania.

Organisasi pemerhati kesejahteraan hewan, Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) Australia  tengah menyelidiki kasus kematian anak anjing berusia 6  bulan di Launceston pada Rabu (8/1/2014) yang ditemukan tewas dengan batubata terikat di lehernya.

Organisasi ini mengunggah foto di internet untuk mencari informasi mengenai kematian anak anjing tersebut dan sudah disebarkan sebanyak 3.000 kali. Tiga pekan lalu, seorang wanita di Rocherlea melaporkan kalau seorang penyusup telah memotong kaki anjing miliknya di halaman belakang rumahnya. Anjing tersebut salah satu kakinya telah diamputasi dan hanya memiliki tiga kaki tersisa. Tindakan keji penyusup membuat anjing bernama Cheyanne itu terpaksa harus disuntik mati.

Rentetan kasus serangan terhadap anjing yang kejam ini mencuatkan desakan perlunya sanksi hukum yang lebih berat bagi pelaku pelanggaran. Saat ini hukuman maksimal untuk pelaku kekejaman terhadap hewan adalah denda AUD$26 ribu dan penjara 18 bulan. Namun RSPCA mengatakan hukuman maksimal itu tidak pernah dijatuhkan oleh pengadilan.

Presiden RSPCA, Paul Swiatkowski mengatakan insiden kematian hewan yang mengenaskan ini menggambarkan perlunya sanksi hukum yang lebih keras. "Bahkan kalau perlu diberikan hukuman yang lebih berat dari hukuman maksimal, kebanyakan pelaku hanya dihukum ringan,” katanya.

Didukung regulator

Desakan ini mendapat dukung dari anggota Dewan Kota Launceston, Rob Soward.

"Kami memandang sanksi hukum yang ada saat ini sangat ringan."

"Semakin banyak kasus-kasus menyeramkan yang terjadi dan kita ingin pemerintah memperberat sanksi hukum,” kata Soward.

Soward mencontohkan posting di media sosial mengenai seorang pria yang mengaku telah memaksa anjingnya untuk duduk di sarang semut berbisa khas Australia – Jack Jumper - di taman kota.

Menurut Soward masyarakat sangat marah dengan insiden terakhir dan itu dibuktikan dengan petisi mengenai perlunya sanksi hukum diperberat yang diunggahnya di media sosial mendapat respon yang sangat besar. Soward mengatakan dalam waktu 15 jam saja, petisi itu sudah menerima 1000 tanda tangan. "Kita mendesak pemerintah, oposisi dan Partai Hijau untuk duduk bersama dan menyimak desakan yang disuarakan rakyat,”

Tuntutan diperberatnya sanksi hukum bagi pelaku serangan kejam terhadap binatang ini mendapat lampu hijau dari Jaksa Agung Tasmania, Brian Wightman. Wightman juga mengaku jijik dengan insiden serangan keji terhadap hewan belakangan ini, karenanya ia menyatakan tengah  mempersiapkan rancangan UU baru. "Salah satu dari rancangan itu akan memperberat sanksi hukum dari hanya 18 bulan menjadi penjara  5 tahun ,” ungkap Wightman.

Pemimpin Oposisi, Will Hodgman ikut merespon desakan ini dan menyatakan pemerintah liberal akan mempertimbangkan tuntutan warga. “Kita akan menangani insiden ini dengan serius dan pemerintah memang perlu lebih pro-aktif dalam mengurangi kejadian semacam ini,” katanya. "Kami akan selalu mencari cara untuk memastikan hukum yang cukup ketat," kata Hodgman.

Sorotan media sosial

Sementara itu  rentetan kasus kekejaman terhadap hewan ini juga mendapat perhatian pengguna media sosial di Australia. Sebuah halaman Facebook telah dibuat untuk anjing yang kakinya dipotong dan berhasil mengumpulkan hampir 4.000 pendukung.

Sementara posting-an  di Facebook tentang insiden anjing  yang dipaksa duduk di sarang semut telah disebarkan hampir dari 1.500 kali. RSPCA mendesak siapa pun yang  memiliki informasi tentang serangan ini untuk bersuara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement