REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Adel Makki bergegas menuju jalanan di tempat penampungan pengungsi Palestina, Shatila, di Beirut, Sabtu, untuk membagikan permen.
Ia melakukan itu segera setelah mendengar kabar kematian Ariel Sharon, pemimpin Israel yang di mata rakyat Palestina bertanggung jawab atas pembantaian ratusan orang di Shatila dan tempat pengungsi terdekat, Sabra.
"Saya merasa lega ketika saya tahu bahwa Sharon sudah mati. Saya pikir (delapan) tahun-tahun ia lewatkan dalam keadaan koma adalah hukuman dari Tuhan untuk kejahatan yang dilakukannya " kata Makki yang berusia 19 tahun.
Selama tiga hari, mulai tanggal 16 September 1982, ratusan pria, wanita dan anak-anak dibantai di Sabra dan Shatila yang terletak di pinggiran selatan Beirut.
Sekitar 500 orang lebih menghilang tanpa jejak, di antara mereka adalah paman Makki.
Israel telah menyerang Lebanon tiga bulan sebelumnya, dan pembunuhan brutal, yang dilakukan oleh sekutu Israel di Lebanon itu, terjadi saat pasukan Israel mengepung tempat-tempat pengungsi itu.
Sharon, Menteri Pertahanan pada waktu itu, dipaksa mengundurkan diri setelah komisi penyelidikan Israel menemukan dia telah "secara tidak langsung bertanggung jawab" untuk pembantaian itu.
Ahmad Khodr al-Gosh yang berusia 10 tahun mengatakan pada Sabtu, "saya menerima sepotong permen karena si pembunuh telah mati. Ia membunuh ratusan wanita dan anak-anak. Kami sekarang lega."
Gang-gang sempit di tempat pengungsian miskin Shatila hidup kembali ketika kabar itu tersebar.
Orang-orang berlarian keluar dari tempat tinggal mereka yang menyedihkan untuk merayakan kematian Sharon, yang meninggal pada Sabtu di sebuah rumah sakit di dekat Tel Aviv setelah menghabiskan delapan tahun terakhirnya dalam keadaan koma.
"Anda ingin tahu bagaimana perasaan saya? Saya ingin menyanyi dan bermain musik, seperti itulah," kata Umm Ali, seorang wanita berusia 65 tahun yang berpakaian serba hitam sambil mengenang saudara laki-lakinya, Mohammad, yang meninggal dalam peristiwa pembantaian itu.
"Saya akan sangat senang untuk menikam dia sampai mati. Dia akan lebih menderita," katanya tentang Sharon, sambil berjalan perlahan dengan bantuan kerabatnya yang lebih muda.
Banyak warga Sabra dan Shatila mengatakan Sharon seharusnya diadili, menggemakan banyak pernyataan serupa dari saudara sebangsa mereka di Palestina dan para penggiat hak asasi manusia.
Sarah Leah Whitson, Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah, mengatakan "sangat disayangkan bahwa Sharon telah pergi ke kubur tanpa diadili atas perannya di Sabra dan Shatila serta pelanggaran hak asasi lain."
Penjaga toko Mirvat al-Amine sepakat bahwa Sharon seharusnya diad?li namun dia juga yakin bahwa Sharon akan menerima pengadilan Tuhan.
"Tentu saja saya senang bahwa ia sudah mati. Saya akan senang untuk melihat dia diadili atas kejahatannya di dunia tapi akan ada pengadilan Tuhan yang tidak dapat dihindarinya."
"Pengadilan Tuhan lebih berat daripada pengadilan apapun di sini," katanya.
Di luar toko, Magida yang berusia 40 tahun, mengatakan dia masih dihantui oleh kenangan akan pembantaian itu.
Ia dan keluarganya telah melarikan diri dari Shatila sebelum pembantaian setelah menyadari ada sesuatu yang salah, katanya.
Mereka bersembunyi di taman terdekat dan menunggu.
"Seorang tetangga yang bergabung dengan kami, gaunnya berlumuran darah. Dia mengatakan kepada kami bahwa orang-orang dibantai di jalanan," kata Magida.
"Pada awalnya kami tidak bisa percaya itu tapi kemudian kami mulai mendengar jeritan, kami mendengar orang-orang memohon pada pembunuh mereka untuk melepaskan mereka."
Ketika Adnan al-Moqdad mendengar kabar tentang kematian Sharon, ia pergi ke pemakaman di Sabra untuk mendoakan arwah ibu dan ayahnya, yang tewas dalam pembantaian itu.
Keluarga Moqdad berkebangsaan Lebanon tetapi seperti banyak keluarga miskin yang lain mereka tinggal di sekitar lokasi pengungsian itu.
"Bagaimana bisa seseorang melupakan pembantaian itu," ia bertanya. "Sharon bertanggung jawab. Tuhan Maha besar dan membuat ia menderita sampai akhir hidupnya dan Tuhan akan membuatnya menderita setelah kematiannya."