Senin 13 Jan 2014 00:07 WIB

Maulid Nabi dan Spirit Pembebasan

Ribuan umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Ribuan umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajar Kurnianto*

Selasa (14/1) diperingati sebagai hari Maulid Nabi, karena bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender hijriah. Kata “Maulid” berasal dari bahasa Arab yang bermakna kelahiran. Meskipun Nabi tidak pernah menyuruh umat Islam untuk memperingati hari kelahiran beliau, tetapi umat beliau memperingatinya sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap sosok beliau, sekaligus mengambil spirit pembebasan yang beliau gelorakan hingga akhir hayatnya.

Latar kelahiran

Dalam bukunya, _Agama-agama Manusia _(2001), Huston Smith menyebutkan bahwa kondisi dunia sekitar di saat kelahiran Nabi Muhammad digambarkan kaum muslimin sesudahnya dengan satu kata saja: biadab, hidup dalam padang pasir tidak pernah damai dan tenang. Kaum badui hampir tidak pernah merasa ada tanggung jawab pada siapa pun di luar kabilahnya.

Kurangnya harta benda dan sifat bermusuhan satu sama lain yang selalu dikobarkan oleh teriknya matahari menyebabkan perampokan melembaga di kawasan itu dan merupakan bukti dari kejantanan.

Dalam abad ke-6 M, kemacetan kehidupan politik dan runtuhnya kewibawaan para penegak hukum dalam kota utama Mekah semakin memperburuk keadaan yang memang sudah rusak. Pesta mabuk-mabukan yang sering dengan perkelahian dan pertumpahan darah merupakan kejadian sehari-hari.

Hasrat bermain judi yang selalu kuat terdapat di kalangan kaum pengembara, berkembang tanpa terkendali, sehingga meja judi di kota Mekah amat ramai sepanjang malam.

Perempuan-perempuan penari berpindah dari satu tenda ke tenda lain untuk membakar nafsu putra padang pasir yang bergelora itu. Sementara itu agama yang dianut orang banyak tidak mampu memberikan kedali apa pun atas keadaan itu. Agama yang amat tepat dinamakan sebagai suatu politeisme animis, mendiami padang pasir itu dengan roh yang bersifat hewani yang disebut jin atau setan. Walaupun jin-jin itu merupakan wujud dari ancaman padang pasir itu secara fantastis, tidak ada bukti bahwa jin-jin itu menghilhami timbulnya dorongan beragama yang sungguh-sungguh, apalagi suatu perilaku moral.

Secara keseluruhan, kondisi seperti itu sudah dapat diduga akan melahirkan suatu arus bawah ibarat api dalam sekam, yang akan meletus dalam bentuk perkelahian secara mendadak serta permusuan yang timbul dan berlanjut turunan demi turunan, yang akan berlangsung sampai puluhan tahun. Waktunya telah tiba untuk datangnya seorang pembebas. Dialah Nabi Muhammad.

Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam bukunya, _Ketika Bulan Terbelah, Jejak Biografi Nabi Muhammad _(2012) menyebutkan, Nabi Muhammad lahir di _syi’ib_ (lembah) Bani Hasyim, Mekah, pada tanggal 9 atau 12 Rabiul Awal, 50 atau 55 hari setelah kegagalan serangan Abrahah, Raja Abessinia, atas Ka’bah. Tanggal itu bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M.

Spirit pembebasan

Nabi Muhammad lahir dalam latar seperti digambarkan Smith tadi. Alquran menyebut beliau sebagai rahmat bagi alam semesta. “Dan, tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’[21]: 107). Ibnu Katsir dalam _Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim_-nya mengatakan, Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi semua orang, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.

Hanya saja, siapa pun yang menerima rahmat itu dan mensyukurinya, maka ia akan bahagia di dunia dan di akhirat. Dan, siapa saja yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merana di dunia dan di akhirat.

Menjadi rahmat berarti menjadi pembebas. Karen Armstrong dalam bukunya _Muhammad: A Biography of the Prophet_ menyebut_ _Muhammad adalah sosok istimewa karena membawa pesan Tuhan kepada umat manusia yang sebenarnya misi itu tidak mudah dilakukan. Sebab, masyarakat Arab di mana beliau berada pada saat itu hidup dalam masa jahiliah. Sebuah situasi di mana masyarakat—seperti disebutkan di dalam Kitab Suci Alquran—tenggelam dalam alam “kegelapan” (_zulumat_).

Jalaluddin Rahmat dalam bukunya, _Peranan Agama dalam Masyarakat yang Membangun: Perspektif Islam_, ada tiga bentuk “kegelapan”: _pertama_, tidak tahu syariat; _kedua_, melanggar syariat; dan _ketiga_, penindasan. Misi Islam dengan demikian adalah untuk menyampaikan syariat, meluruskan pelanggaran syariat, dan membebaskan manusia dari penindasan, baik itu penindasan sosial, politik, ekonomi, maupun keyakinan. Misi yang sama diusung oleh para nabi dan rasul sebelum Muhammad.

Selama lebih kurang 23 tahun—13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah—Nabi berjuang dengan segala upaya untuk membebaskan masyarakat dari krisis agama, moral, sosial, politik, dan ekonomi. Beliau berusaha mengeluarkan mereka dari gulita itu menuju alam terang-benderang, dalam kehidupan yang modern.

Dalam ungkapan Robert N Bellah (Beyond Belief, 1976), tatanan masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad adalah salah satu contoh nyata masyarakat berperadaban modern. Bahkan, untuk konteks masa itu (Arab), terlalu modern. Sehingga, setelah beliau wafat, tatanan itu tidak bisa bertahan lama.

Bagi bangsa ini, memperingati Maulid Nabi berarti merealisasikan spirit pembebasan untuk melakukan perubahan kondisi bangsa dari keterpurukan di hampir segala bidang dan lini kehidupan agar ke depan bangsa ini keluar dari krisis, dan menjadi bangsa yang maju. Semoga.

*Penulis buku "Percikan-percikan Hikmah Sejarah Nabi" (Quanta, 2013)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement