REPUBLIKA.CO.ID, Keberadaan modal asing di Indonesia memang selalu menimbulkan persoalan. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, dominasi asing menjadi warisan sistem ekonomi kolonial sehingga kepemerintahan orde lama dianggap menyia-nyiakan pertumbuhan ekonomi.
Kemudian, pada masa Orde Baru, isu serupa kembali muncul, bahkan menjadi penyebab kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974. Di mana salah satu tuntutan mahasiswa ketika itu terkait pengelolaan modal asing, khususnya Jepang.
Seorang tokoh atas peristiwa tersebut, Hariman Siregar mengatakan, orde baru seharusnya menjadi jawaban dari orde lama, di mana Indonesia saat itu masih diboikot Barat. Namun, nyatanya pertumbuhan ekonomi justru diserahkan pada modal asing.
"Jadi Indonesia pada saat itu malah mengandalkan utang, bukan kekuatan dalam negeri," kata Hariman penuh antusias, di Jakarta, Rabu (15/1).
Wajahnya menerawang kembali persoalan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. Apa yang dikritisinya dulu, akhirnya memuncak 24 tahun kemudian, pada kerusuhan 1998.
Menurut dia, hal itu adalah dampak dari kemerosotan sebuah negara yang hampir sepenuhnya dikuasai asing. Namun, dia dengan para mahasiswa saat itu, melihat potensi di masa depan.
"Kami saat itu sudah beripikir, bagaimana kondisi nanti kalau modal asing menguasai. Akhirnya timbulah gejolak di tahun 1998. Tapi kenapa mahasiswa sekarang tidak lagi kritis, padahal asing jelas secara total menguasai kita?" tanyanya.
Menurut dia, bukan generasi muda yang seharusnya bertanya kenapa hal itu terjadi. Justru pihaknya mewakili orang-orang terdahulu yang merasa heran dan perlu bertanya, kenapa mahasiswa sekarang tidak lagi kritis seperti dulu.
Pria yang pernah merasakan enam tahun hidup di balik jeruji besi pada era Soeharto itu menambahkan, Indonesia itu seperti sudah membudaya dikuasai asing. Dan masyarakat saat ini justru tenang-tenag saja hidup di negaranya sendiri sebagai kacung.
"Kita dulu merdeka untuk bisa menikmati kekayaan alamnya. Tapi sekarang kita ini sama sekali tidak menikmati untung dari berlimpahnya hasil negeri. Bangsa ini seperti orang yang bekerja dan digaji, dan investor itu hanya membayar uang sewa tanahnya," kata Hariman.
Dia mengatakan, Indonesia itu sudah seperti tidak memakai baju. Sebab, sudah terbuka semua jenis permodalan asing yang ingin masuk. Padahal seharusnya, Pemerintah bisa selektif, mana yang butuh dan tidak dibutuhkan.
Tapi faktanya, tidak ada upaya tersebut, bahkan kedai kopi pun bisa masuk ke Indonesia. Seharusnya, untuk hal lokal semacam itu, Indonesia bisa memanfaatkan kekuatan dalam negeri. Kalau investor asing ingin datang untuk membangun teknologi tenaga nuklir, kata dia, itu yang perlu diterima.
"Kita ini sudah terperangkap oleh jebakan utang, makanya jadi terbuka, semua boleh masuk. Benar-benar sudah telanjang sekarang ini," ujarnya.
Kalau dulu dalam Malari, mereka menolak permodalan asing oleh Jepang, justru sekarang perusahaan asal negeri matahari tersebut menguasai pola hidup masyarakat. "Sekarang bukan Jepang lagi, malah Cina. Besok apa, mau Filipina?" katanya.
Dia menilai, persoalan seperti ini tidak lepas dari ulah para pemimpin bangsa yang dinilainya bodoh. Menurut Hariman, mereka hanya ingin menikmati sendiri kekayaan materi tersebut.
Pada era Presiden Soeharto dulu, dia sudah melihat, pemerintahan yang hanya mengandalkan utang, tidak akan maju, karena itu mahasiswa bergerak.
Berbeda dengan sekarang, ulah Pemerintah yang hanya ingin praktis, justru meracuni pikiran rakyat sehingga ketergantungan atas produk asing menjadi kebutuhan mereka. Mulai dari penggunaan gadget, kendaraan bahkan sejumlah produk kebutuhan rumah tangga.
"Melihat kondisi seperti ini, seharusnya ada sebuah pemberontakan. Saya di usia 64 tahun masih semangat, dan berani. Mana generasi sekarang? Kalau saya tinggal tunggu mati, tapi kalian yang akan merasakan 20 tahun ke depan, seperi Malari dampaknya terasa pada kerusuhan 1998," katanya.