Selasa 21 Jan 2014 10:01 WIB

SBY Sindir Iklan Politik Capres

Rep: Esthi Maharani/ Red: Maman Sudiaman
  Buku karya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat diluncurkan di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (17/1).
Foto: Antara/Andika Wahyu
Buku karya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat diluncurkan di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (17/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyindir iklan-iklan politik para calon presiden. Ia beranggapan, beberapa iklan tersebut berlebihan. Bahkan di matanya, beberapa tokoh mengubah total penampilannya demi mendapatkan hati rakyat. 

"Saya menyimak, misalnya, seorang tokoh yang punya niat berkompetisi lantas penampilannya diubah total. Pakaiannya dibikin "sangat biasa" -  dalam arti malah tidak wajar. Barangkali ingin memberikan kesan kepada rakyat bahwa dia adalah orang yang sangat sederhaana. Tidak bermewah-mewah," tulisnya di halaman 378 buku 'Selalu Ada Pilihan'

Bukan cuma penampilan, Presiden SBY juga menyinggung tokoh yang menggunakan kendaraan Kijang. Hal itu untuk mengesankan dirinya sebagai tokoh yang merakyat dan bukan orang kaya.

Masih dalam bukunya, Presiden SBY juga menjabarkan ada pula tokoh yang sejak musim prapemilu lebih memilih untuk selalu bertemu rakyat. Bahkan menghindar untuk bertemu dengan pejabat-pejabat negara. Ia ingin membangun citra sebagai tokoh yang amat dekat dengan rakyat. Hidup bersama rakyat. Dia tidak termasuk kaum elite dan bahkan dibikin sebagai orang yang tidak menyukai kaum elit itu.

"Sebenarnya, semua penampilan dan pembawaan diri seperti itu sah adanya. Tidak ada yang melarang. Cuma, sekali lagi, jika berlebihan justru Anda dianggap sebagai orang yang pandai bersandiwara.  Segala apa yang Anda pakai dan lakukan dicurigai sebagai pencitraan. Atau mungkin hanya sekadar menjalankan nasihat dan skenario tim pencitraan Anda," tulis SBY.

Ia memberikan saran, agar iklan-iklan yang dipertontonkan jangan terlalu berjarak dengan karakter dan kehidupan sehari-hari. Kalau itu terjadi, lanjutnya, masyarakat mudah dan cepat mengetahuinya. Menurut SBY, masyarakat jeli dan cerdas untuk mengetahui realitas kehidupan tokoh tersebut berbeda dengan yang ada dalam ilman.

"Misalnya, maaf, Anda termasuk sosok yang kurang senyum dan "dingin", tiba-tiba dalam iklan menjadi sangat ramah dan menebar senyum dan sapa kemana-mana. Atau Anda diketahui oleh publik sebagai jarang bersama-sama keluarga bahkan dinilai agak berjarak, tiba-tiba dalam iklan begitu rukun dan akrabnya. Di manapun. Atau juga masyarakat mengetahui bahwa Anda tiddak terlalu dekat dengan rakyat kecil, tiba-tiba dalam iklan begitu merakyatnya. Begitu dekatnya dengan mereka semua. Atau kalau rakyat tidak pernah melihat Anda pergi ke warung-warung, ke sawah-sawah, ke desa-desa, dan juga ke pasar-pasar, tiba-tiba iklan Anda penuh dengan adegan seperti  itu,  rakyat akan tertawa. Jangan lupa, kalau perbedaan itu begitu besarnya, rakyat akan selalu ingat. Kalau memori itu dibawa terus hingga saat pencoblosan, atau hari pemungutan suara, Anda akan sangat dirugikan," tulisnya.

Menurutnya, masih ada waktu untuk koreksi. Sebab, menurutnya, cinta. Dan peduli sama rakyat itu tidak harus berpura-pura menjadi rakyat kecil. Berpura-pura hidup serba susah. Yang ingin diketahui rakyat apakah pemimpinnya memikirkan kehidupan rakyat dan kesejahteraan mereka. Tidak cukup berpenampilan sebagai orang miskin atau berpura-pura menjadi oraang miskin. Apalagi jika rakyat tahu sebenarnya tokoh tersebut adalah orang berduit.

"Dalam kaitan ini, jika dalam rangkaian kampanye pemilihan umum mendatang ada seorang kandidat  yang menggunakan busana, berpenampilan fisik dan bergaya seperti tokoh besar yang diidolakaan, termasuk nada suara dan nada bicaranaya, saya khaawatir, maaf, kalau kandidat bersangkutan akan kalah. Saya khawatir justru rakyat tidak memilihnya," katanya.

Kuncinya, lanjut SBY, adalah jangan berlebihan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement