REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Adalah ide brilian dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, yang memindahkan pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa menuju ke pedalaman di daerah yang sekarang menjadi Surakarta. Dengan langkah ini, ia bisa memperluas kekuasannya ke wilayah Jawa lain yang belum terjamah oleh Demak.
Denys Lombard, dalam buku yang ditulisnya, Nusa Jawa: Silang Budaya, menggambarkan kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir, Majapahit, telah mengalami keruntuhan.
Kepemimpinan pun berganti pada kerajaan-kerajaan Islam yang banyak mengambil lokasi di daerah pesisir. Salah satunya yang terbesar adalah Kerajaan Demak.
“Namun, kewibawaan kerajaan pesisir ini tidak bakal lama. Sesudah kematian raja termahsyurnya, yaitu Sultan Trenggana, tampil penguasa selanjutnya yang mengembalikan pusat kegiatan ke daerah persawahan pedalaman,” tulisnya.
Pajang tampil menjadi lumbung padi di tanah Jawa. Wilayahnya yang sangat subur dan air mudah ditemukan membuat pertanian di daerah ini menjadi maju.
Dengan memanfaatkan aliran air Sungai Bengawan Solo, padi dan hasil pertanian lain pun bisa dipasarkan ke berbagai penjuru daerah.
Penguasa Pajang, menurut Denys, telah merencanakan sebuah politik ganda berdasarkan pada usaha persawahan sekaligus perniagaan besar. “Ini sama dengan yang dilakukan kerajaan besar yang lebih dulu, yaitu Majapahit,” katanya.
Dalam Babad Tanah Jawi dijelaskan, pimpinan Demak memerintah pasukannya dan tentara bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar. Pasukan yang sama inilah yang menjadi kekuatan dari Kerajaan Pajang untuk menaklukkan wilayah-wilayah lain di Jawa.
Bahkan, dalam Serat Kanda, dijelaskan pasukan tersebut juga diperkuat oleh orang Cina Peranakan. Pasukan Kerajaan Pajang yang kuat ini membuat wilayah kekuasaannya semakin meluas.
Perpindahan pusat kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Meski perawakan Hadiwijaya ini lemah lembut dan selalu berpikir matang sebelum memutuskan sesuatu, di bawah pemerintahannya dari 1549 hingga 1582, Pajang bisa menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah barat Bagelen (Lembah Bogowonto) dan Kedu (Lembah Progo Atas). Sekitar 1578, Pajang melakukan perluasan wilayah hingga ke Banyumas. Sedangkan, ke arah timur, Pajang bisa menguasai wilayah Madiun hingga ke Blora.
Hadiwijaya dikenal sebagai raja Islam yang pandai berdiplomasi. Ini membuat pada 1581, para pemimpin wilayah di pesisir Jawa Timur pun mengakui kedaulatannya. Ia juga sering mengadakan pertemuan antarraja kecil di wilayahnya tersebut.
Salah satunya yang dilangsungkan di Istana Sunan Prapen di Giri yang dihadiri oleh Bupati dari Jipang, Wirasaba, Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, Pati, dan bupati Surabaya.
Disebutkan pula wilayah Arosbaya (Madura Barat) mengakui pula kedaulatan Pajang sehingga bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur pun diangkat menjadi menantu Sultan Hadiwijaya.
Setelah Sultan Hadiwijaya meninggal, kekuasaan Pajang tak berusia panjang. Kekuasaannya diberikan kepada anak laki-laki tertuanya, Pangeran Benowo. Terjadi banyak konflik perebutan kekuasaan saat itu.
Terakhir, pada 1587, Sutawijaya yang baru mendirikan Kerajaan Mataram berbalik menyerang Pajang dan menaklukannya. Pajang kemudian menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati (1575-1601).
Bangunan
Kesultanan Pajang tak banyak meninggalkan jejak fisik yang bisa kita lihat. Menurut sejarawan Islam Agus Suyanto, hal ini karena istana dan bangunan lainnya terbuat dari kayu yang mudah lapuk dimakan zaman.
“Di nusantara punya keyakinan, manusia tidak boleh tinggal dalam bangunan yang terbuat dari batu, kebanyakan menggunakan kayu, dan tidak menggunakan perekat,” ujar penulis buku Atlas Wali Songo ini.
Menurutnya, pemahaman seperti ini sangat tepat karena bangunan dipikirkan untuk bersifat elastis. Orang-orang dulu telah paham bahwa daerah Indonesia itu rawan gempa, jika bangunannya elastis dan terbuat dari kayu, tidak akan mudah roboh ketika gempa datang. Juga tidak akan membuat penghuninya rawan tertimbun reruntuhan bangunan dan menjadi korban.
Satu-satunya yang masih tertinggal hingga sekarang adalah fondasi bekas Keraton Pajang berdiri. Fondasi bangunan ini terbuat dari batu.
Kini, demi kepentingan pelestarian sejarah dan pariwisata, masyarakat di sekitar lokasi tersebut kemudian membangun pendopo baru dengan berbagai patung dan ornamen Jawa di tempat tersebut agar orang-orang bisa mengetahui bahwa di tempat tersebut pernah berdiri sebuah kerajaan Islam yang perannya sangat penting di tanah Jawa.