REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki tahun-tahun pemilu, banyak kalangan mewanti-wanti adanya intervensi dari investor terhadap pelaksanaan kegiatan CSR suatu perusahaan.
Keterbatasan dana yang bisa disumbangkan oleh perusahaan maupun individu menjadi satu alasan kekhawatiran yang memicu intervensi pelaksanaan program yang menguntungkan golongan tertentu.
Aktivis Lingkar Studi CSR Jalal mengingatkan berdasarkan pengalaman pada masa pemilu, umumnya terjadi inefisiensi penggunaan dana CSR. Dibandingkan tahun nonpemilu, hampir bisa dipastikan pelaksanaan CSR akan menjadi kurang efektif.
Namun, Jalal yakin bagi perusahaan yang menjalankan good governance dan memahami prinsip-prinsip CSR dengan baik, tahun pemilu tidak akan mempengaruhi pelaksanaan program-program yang sudah direncanakan dalam jangka panjang.
Ia mengatakan ada beberapa celah yang bisa menjadi kesempatan dana CSR menjadi tidak efektif. Dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), perusahaan sudah menyepakati pos-pos tertentu dalam perencanaan keuangan mereka dalam satu tahun. Termasuk untuk alokasi dana CSR. Pos ini umumnya tidak dapat dilanggar.
Artinya, pengambil keputusan harus memiliki standar pengalokasian yang benar untuk masing-masing pos anggaran. Namun, celah ini belum tertutup rapat lantaran dalam berbagai audit, kata Jalal penerima dana CSR ini sering dimanipulasi.
Dalam pelaksanaannya Dana CSR yang seharusnya digunakan untuk masyarakat rentan justru diberikan kepada kerabat caleg atau orang yang tidak berhak."Sering ditemui dalam audit," katanya.
Menjelang pemilu, manajer CSR semakin sering menerima proposal brutal dengan program-program yang tidak masuk akal. Misalnya, proposal peningkatan komunikasi masyarakat, namun realisasinya justru menjadi ajang bagi-bagi ponsel kepada caleg.
Jalal menekankan pelaksanaan program CSR harus mendapatkan pengawasan ketat baik dari segi pengalokasian anggaran hingga eksekusi.