Oleh: Afriza Hanifa
Seperti lahir kembali
Maria belum memutuskan untuk berislam meski telah mempelajarinya. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Kemantapan hati untuk menjadi Muslimah baru dirasakan setelah sang tunangan tewas akibat kecelakaan.
Saat kejadian nahas itu, ia sedang bersekolah di Arizona. Rupanya, pria tersebut bermaksud mengunjunginya ke Arizona. Mengendarai mobil dari Boulder ke Arizona, pria Muslim yang baik hati ini mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya.
Perginya sang tunangan rupanya membuat Maria mengetahui makna kehidupan. “Itu adalah pengalaman pertama saya tentang kematian dan itulah yang mengilhami saya untuk melihat Islam lebih dekat lagi,” ujarnya.
Berangkat dari tragedi itu, ia melihat ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar kematian. “Ada sebuah kekuatan lebih besar yang mendiktenya.”
Dua bulan pascakematian sang tunangan, Maria semakin rajin membaca buku-buku keislaman. Hingga suatu hari, ia membuka Alquran yang menjawab segala keraguannya dan menjawab segala hikmah di balik peristiwa yang menimpanya. Sejak itulah, Maria memutuskan untuk bersyahadat.
Keputusan berislam kemudian disampaikan Maria kepada teman-temannya yang Muslim. Mereka menyarankan Maria untuk menemui seorang ulama di Denver.
“Saya pun berbicara dengan syekh di Denver. Ia memastikan bahwa apa yang akan saya lakukan benar-benar apa yang saya inginkan. Ia ingin memastikan bahwa saya melakukannya bukan karena seseorang, bukan karena tunangan saya. Kami membicarakan hal ini dan saya mengatakan bahwa ini untuk diri saya sendiri,” ungkap Maria.
Ia pun kemudian bersyahadat di hadapan ulama tersebut dan dua orang teman sebagai saksi. Setelah memeluk Islam, Maria semakin banyak memiliki teman, terutama dari kalangan Muslim.
Ia pun bersyukur dapat mengenal tunangannya. Karena, melalui pria itulah hidayah datang kepadanya. “Jika tidak bertemu dengan dia, saya tidak mungkin mengenal dan belajar Islam.”
Menjadi Muslimah membuat Maria merasa seperti lahir kembali sebagai seorang yang bersih dan sebagai sosok yang berbeda. Segala hal buruk yang pernah ia lakukan serasa terhapus setelah memeluk agama Islam.
Setelah menjadi Muslimah, Maria tentu harus menghadapi keluarganya yang atheis. Awalnya, mereka tak menganggap keputusan Maria untuk memeluk Islam sebagai hal yang serius.
Barulah ketika Ramadhan tiba, mereka melihat kesungguhan Maria berislam. Mereka kagum dengan tekad Maria untuk menjalankan ibadah puasa meski sangat berat.
“Saya puasa sebulan penuh. Itu adalah Ramadhan pertama saya dan itu benar-benar sangat sulit. Tapi, saya melakukannya dan mereka baru menyadari bahwa saya sangat serius.”
Melihat kesungguhan itu, kedua orang tua Maria pun luluh. Mereka menerima keputusan putrinya untuk menjadi Muslim.
Selain orang tua, tantangan lain juga dihadapi Maria ketika memutuskan untuk berhijab. Meski ia bukan satu-satunya Muslimah yang mengenakan jilbab di AS, namun Maria merasa sangat asing dan terkucil.
“Ketika pertama kali mengenakan jilbab, itu sangat sulit. Setiap orang menatap saya. Ada gadis-gadis lain di sini yang mengenakan hijab, tapi saya merasa sayalah satu-satunya gadis Amerika yang mengenakan jilbab.”
Meski demikian, hal itu tak mengurungkan niatnya untuk menutup aurat. Ia justru merasa bangga karena dapat berjilbab sebagai kaum minoritas. Kini, ia merasa jilbab adalah bagian dari dirinya sehingga tak akan mungkin dilepas.