REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Barat menyatakan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan pihak sekolah terhadap orang tua siswa masih terus terjadi menjelang pelaksanaan ujian di sekolah dasar, serta ujian nasional tingkat SMP dan SMA.
"Padahal berbagai regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan sektor pendidikan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, mulai dari UU No. 20/2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional terutama pasal 34 melarang tegas setiap bentuk pungutan di sekolah, terutama sekolah dasar dan sekolah menengah pertama," kata Kepala Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) Adhar Hakim, di Mataram, Kamis.
Larangan tersebut dipertegas lagi oleh PP No. 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai perubahan dari PP No. 19/2005. Larangan untuk melakukan pungutan terhadap sekolah yang dikelola pemerintah termasuk pemerintah daerah juga dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Permendikbud No. 60/2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
"Sumbangan memang diperbolehkan pada sekolah yang dikelola masyarakat atau sekolah swasta. Pada sekolah yang dikelola pemerintah termasuk pemerintah daerah, konteks sumbangan harus dibaca secara hati-hati, hal ini mengacu pada Permendikbud No. 42/2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan," katanya.
Adhar mengingatkan, sumbangan bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya. Karena dalam pasal 9 satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. "Bahkan dalam pasal 11 secara tegas siswa tidak mampu dilarang untuk dipungut biaya," katanya.
Sejak awal Januari 2013, sampai saat ini, laporan dari sejumlah orang tua siswa, baik pada tingkat SD maupun SMP terus mengalir ke Kantor Ombudsman RI Perwakilan NTB. Laporan warga mengeluhkan bermunculannya berbagai jenis pungutan yang diterbitkan oleh pihak sekolah kepada orang tua siswa.
Menurut dia, jenis pungutan yang marak rata-rata dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain uang fotokopi soal-soal latihan ujian, uang biaya tambahan pengayaan pelajaran, uang les tambahan, uang phas foto siswa, bahkan uang perpisahan siswa.
"Sementara besaran pungutan terhadap siswa pada masing-masing sekolah bervariasi, mulai dari Rp100.000 hingga Rp 350.000 per siswa," katanya.
Cara atau modus melakukan pungutan juga bermacam-macam, kata dia, antara lain ada yang dilakukan secara terbuka melalui surat edaran kepala sekolah, hingga imbauan secara lisan oleh guru dan kepala sekolah kepada siswa. Ada beberapa praktik pungutan liar yang melibatkan komite sekolah, dan ada juga ada yang dilakukan tanpa melibatkan komite sekolah.
Adhar mengatakan, dalam pengamatan yang dilakukan oleh Ombudsman RI Perwakilan NTB, bermunculannya berbagai bentuk pungutan liar ini lebih banyak disebabkan oleh minimnya pembinaan dari atasan, dari para pengelola sekolah, yakni Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga kepada para kepala sekolah.
"Saya melihat ada kecenderungan, karena para kepala dinas merasa tidak memiliki terobosan yang baik untuk mencegah terjadinya pungutan liar, maka kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang tidak jelas, bahkan cenderung tutup mata dan pura-pura tidak tahu," katanya.
Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya praktik pungutan liar yang terjadi tetapi tidak identik dengan perbaikan pengawasan terhadap para sekolah.
"Adalah sikap yang kurang 'fair' jika membiarkan para kepala sekolah menyelesaiakan sendiri persoalan kesulitan anggaran sekolah menjelang pelaksanaan ujian nasional dengan membiarkan para kepala sekolah terpaksa melakukan aksi pungutan kepada para orang tua siswa," ujarnya.
Menurut dia, masalah ini merupakan pertanda bahwa politik pendidikan pada level kota dan kabupaten di NTB masih sangat parsial dan belum terlalu fokus pada ide-ide pelaksanaan pendidikan yang bersih dari praktik pungutan liar.
"Oleh sebab itu diimbau kepada pemerintah kota dan kabupaten melalui Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga untuk meningkatkan pengawasannya kepada para pengelola sekolah," kata Adhar Hakim.