REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh sejumlah faktor baik dari global maupun domestik. Dari global, setidaknya ada tiga faktor pendukung apresiasi.
Pertama, kata pengamat ekonomi UI Muslimin Anwar, terpilihnya kepala the Fed yang baru Janet Yellen yang memberi ketenangan di pasar untuk tetap melakukan stimulus moneter. Ini telah meningkatkan kepercayaan investor untuk kembali menempatkan ekses likuiditas global di pasar keuangan emerging markets, termasuk Indonesia.
"Pasar saham dalam negeri kembali bergairah sebagaimana ditunjukkan IHSG yang meningkat seiring dengan kembali masuknya arus modal asing," kata Muslimin di Jakarta, Ahad (16/2).
Kedua, harga komoditas global mulai menunjukkan tren penguatan, seiring dengan mulai menguatnya perekonomian negara maju seperti AS dan Jepang.
Ketiga, Muslimin menjelaskan, pertumbuhan ekonomi dunia mulai menunjukkan perbaikan baik di negara maju seperti AS dan Jepang maupun negara berkembang yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dunia seperti Cina dan India, termasuk Indonesia.
"Bahkan, Eropa yang diprakirakan mengalami kontraksi ekonomi 0,4 persen di akhir 2013, justru tumbuh positif," kata pengurus PP Muhammadiyah ini.
Dari data Bank Indonesia (BI), nilai rupiah pada pekan lalu mengalami penguatan dari level 12.200 per dolar AS menjadi 11.900-an per dolar AS.
Jika pada 10-11 Februari rupiah terhadap dolar AS masih berkutat di posisi 12.200-an, maka pada hari-hari berikutnya rupiah terus terapresiasi hingga berada di bawah 12 ribu per dolar AS. Pada penutupan perdagangan Jumat (14/2), nilai tukar rupiah 11.800 per dolar AS.