REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz muftisani
Ulama bersepakat tidak boleh membongkar makam.
Warga Kabupaten Tangerang dikejutkan awal bulan ini oleh kasus hilangnya 81 jenazah dari makam TPU Cigateng. Makam yang terletak di Kampung Cigateng, Desa Cihuni, Pagedangan, Kabupaten Tangerang, ini mendadak ramai dikunjungi warga.
Ada yang sekadar melihat, ada yang memastikan jenazah anggota keluarganya turut hilang atau tidak. Pihak kepolisian kemudian memastikan 81 jenazah tersebut dipindahkan oleh sekelompok orang karena faktor sengketa proyek.
Menurut pengakuan pelaku, ada perintah dari ahli waris, namun tak sedikit ahli waris yang merasa kecolongan. Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang pemindahan jenazah yang sudah dikubur?
Permasalahan ini pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU). Dalam kumpulan hasil keputusan Bahtsul Masail Ahkamul Fuqoha, memindahkan jenazah dari satu kuburan ke kuburan yang lain haram hukumnya. Kecuali, karena alasan darurat.
Bahtsul Masail NU mendasarkan pada kitab al-Mahalli I halaman 252. “Menggali kuburan untuk dipindahkan atau tujuan lainnya hukumnya haram. Kecuali, karena sesuatu yang darurat.”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah dimintai fatwa soal ini pada 1981. Secara khusus, MUI diminta fatwa tentang pemindahan jenazah Bung Tomo dari Makkah ke Tanah Air.
Secara umum, Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai KH M Syukri Ghozali menerangkan tidak boleh memindahkan jenazah yang telah dimakamkan.
Sebagian besar ulama, MUI menjelaskan, bersepakat soal haramnya memindahkan makam. Kecuali, ada alasan yang dibenarkan syariat.
Imam Maliki dalam hal ini memperbolehkan pemindahan jenazah yang sudah dikubur dengan alasan kemaslahatan. Di antaranya, untuk memudahkan ziarah atau dimakamkan di tengah makam keluarga.
Mahzab Hanafi dengan tegas melarang pembongkaran makam, kecuali ada sangkut pautnya dengan hak adami. Seperti, ada perhiasan yang jatuh di dalamnya, dikafani dengan kain curian, atau ada harta yang ikut tertimbun bersama jenazah. Meskipun, dalam Mahzab Hanafi, hanya satu dirham saja.
Selain itu, sebab-sebab syar’i diperbolehkannya membongkar kuburan ada beberapa hal. Pertama, adanya air kotor yang merembes ke dalam kuburan. Ibnu Qudamah al-Hambali dalam kitabnya al-Mughni pernah ditanya soal jenazah yang dikeluarkan dari kuburnya.
Beliau memperbolehkan jika di kuburan itu ada sesuatu yang mengganggu, seperti air yang merembes. Imam Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah menegaskan syarat apabila kuburan dilalui air atau sangat lembab.
Imam Nawawi dalam al-Majmu menyitir Ibnu Qutaibah yang menyebutkan dalam kitabnya al-Maarif bahwa Thahah bin Ubaidillah (salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga) telah dikubur. Kemudian, putrinya yang bernama Aisyah bermimpi melihatnya setelah 30 tahun penguburan.
Dalam mimpi itu, Thalhah mengadu karena kuburannya dirembesi air. Aisyah lalu menyuruh membongkar makam ayahandanya itu. Keadaan jasad Thalhah masih segar, kemudian dikubur di kampung halamannya di Bahsrah.
Kedua, menurut Syekh Yusuf Qaradhawi, adanya kemaslahatan masyarakat yang lebih besar. Syekh Qaradhawi mengambil pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam masalah Muawiyah.
Pada masa pemerintahan Muawiyah, hendak dialirkan air dari mata air Uyun Hamzah ke Madinah. Namun, aliran ini akan melintasi pemakaman syuhada. Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah disebutkan saat itu masih hidup sahabat dan tak seorang pun mengingkarinya. Sehingga, hal tersebut dianggap ijma’.
Atas dasar itu, Syekh Qaradhawi menyebut jika harus memindahkan jenazah, harus kuburan yang sudah tidak dipakai selama 20 tahun.
Kemudian, tidak boleh mematahkan tulang jenazah, seperti hadis yang diriwatkan Abu Daud. Selanjutnya, tulang-tulang dikumpulkan dan dipindahkan dengan rasa hormat. Bukan dengan cara dicuri atau dipindahkan diam-diam.