Oleh: Nashih Nashrullah
Anggota Dewan Ulama Senior Arab Saudi, Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, pada 2012 sebelum perubahan resmi ditetapkan, menolak keras rencana penggantian libur tersebut.
Ia mengingatkan bahwa Sabtu dalam tradisi Yahudi bukan sekadar hari libur biasa. Melainkan merupakan hari suci keagamaan. Ini terbukti dari pernyataan Ibnu Taimiyah.
Menurut sosok yang bergelar Syekh al-Islam itu, Yahudi mengagungkan Sabtu lantaran menurut keyakinan mereka, pada hari inilah Tuhan beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi.
Sedangkan, berdasarkan kepercayaan Nasrani, Ahad adalah hari pertama ketika Tuhan memulakan penciptaan langit dan bumi. Dan, umat Islam dimuliakan dengan Jumat.
Pada hari tersebut, penciptaan telah sempurna, Adam manusia pertama diciptakan pada Jumat, kiamat pun akan datang pada hari itu, dan Jumat merupakan hari yang istimewa untuk berdoa. Lantaran ada waktu yang manjur untuk berdoa, juga terdapat anjuran shalat Jumat.
Dengan demikian, ujar Syekh Fauzan, mengganti hari libur Jumat-Sabtu atau bahkan Sabtu-Ahad, tidak diperbolehkan lantaran menyerupai tradisi Yahudi dan Nasrani.
Apalagi, tradisi tersebut berkorelasi kuat dengan akidah dan kepercayaan mereka. Rasulullah melarang tasyabuh semacam ini. “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka,” tulis Syekh Fauzan menukilkan sabda Rasul.
Diperbolehkan
Secara terpisah, Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta’) menegaskan, penetapan hari libur nasional termasuk perkara mubah dalam Islam, tak ada ketentuan dan batasan syar’inya untuk menunjuk hari tertentu. Tak ada korelasi pula hari raya agama tertentu dengan libur nasional tersebut.
Perhatikan saja, tulis lembaga yang kini diketuai oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu, para generasi salaf tidak pernah memperkenalkan libur pekanan, seperti Jumat ataupun dua hari raya, Idul Fitri dan Adha. Justru, hari-hari tersebut terlepas dari kesuciannya dan anjuran shalat, mendorong segenap umat untuk berkarya, bukan malah santai.
Simak ayat ke-9 dan ke-10 surah al-Jumuah. Dua ayat tersebut mengisyaratkan secara jelas seruan untuk beraktivitas atau bertransaksi sebelum atau sesudah shalat Jumat dilaksanakan. Sama sekali tidak menyerukan untuk bersantai-santai pada Jumat.
Dar al-Ifta’ menegaskan, bila pemerintah memberlakukan libur nasional Jumat-Sabtu, Sabtu-Ahad maka ketetapan itu tidak dikategorikan penyerupaan Yahudi atau Nasrani yang dilarang agama.
Perkara dianggap penyerupaan bila memenuhi dua syarat, yakni pertama, aktivitas yang ditiru tersebut termasuk perkara yang dilarang dan kedua, yang bersangkutan memang berniat untuk menduplikat perilaku tertentu tersebut.
Umar bin Khatab mengikuti Romawi soal dokumentasi atau administrasi, ketika para sahabat menaklukkan Persia, mereka shalat menggunakan celana khas Persia, dan hal semacam ini bukan tasyabuh yang dikecam agama.
Ibnu Hajar al-Asqalani di Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari menguraikan persoalan ini dengan mencontohkan tren baju jubah thailasan yang familiar dalam tradisi ritual Yahudi, kini model baju itu menjadi mode dan tak lagi terbatas untuk mereka.
Oleh karena itu, boleh-boleh saja mengenakannya. Penegasan ini juga disampaikan oleh Imam Izzuddin Ibn Abd as-Salam. Demikian halnya, soal libur Sabtu atau Ahad. Dunia internasional, baik Yahudi, Nasrani, atau umat beragama lainnya, menggunakan hari ini sebagai libur nasional. Kedua hari itu, bukan lagi domain Yahudi atau Nasrani dan telah menjadi lumrah.
Maka, penetapan kapankah harus libur nasional diserahkan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kemaslahatan umum. Tidak ada kaitannya dengan tasyabuh ataupun bid’ah yang digembor-gemborkan sebagian kalangan.