REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU-- Pengamat politik dari Universitas Andalas Drs Syaiful Wahab MSi berpendapat bahwa saksi partai politik dalam Pemilu dibiayai oleh APBN tidak menyalahi aturan karena eksistensi mereka diatur dalam UU No 8/2012 tentang Pemilu, khususnya pasal 161 ayat 2.
"Dalam undang-undang tersebut saksi dari parpol memang harus hadir dalam proses pemungutan dan perhitungan suara pemilu seperti halnya unsur lainnya yakni panwaslu dan pemantau pemilu. Jika keberadaan Panwaslu dibiayai oleh negara (APBN), maka wajar jika saksi parpol juga dibiayai oleh negara," katanya di Pekanbaru, Jumat.
Namun, menurut Syaiful, masalahnya adalah jika saksi dari parpol harus dibiayai oleh APBN, bagaimana halnya dengan lembaga pemantau pemilu yang selama ini dibiayai oleh lembaga donor/sponsor ataupun masyarakat yang secara sukarela ikut melakukan pengawasan terhadap proses pemungutan dan perhitungan suara.
Padahal, katanya, mereka tidak pernah menuntut bahwa kehadiran dan perannya harus dibiayai oleh pihak manapun termasuk oleh pihak negara (APBN). "Di sini terlihat bahwa parpol terkesan rakus dan minta dimanjakan. Seharusnya Parpol malu kepada rakyat yang telah mensubsidi negara (melalui pajak) dan telah cukup banyak dihambur-hamburkan untuk kegiatan pemilu," katanya.
Oleh karena itu, katanya lagi, dana saksi parpol sebaiknya dibebankan kepada partai atau dari para caleg-nya. Untuk membiayai "dukungan suara" saja mereka sanggup masak hanya untuk membiayai satu orang saksi parpol saja mereka tidak mau.
Padahal partai-partai yang memiliki kursi di parlemen, setiap tahun sudah mendapatkan kucuran dana dari APBN (untuk kegiatan operasionalnya), belum lagi "sumbangan wajib" yang diperoleh dari para anggota partainya yang duduk di parlemen, hal ini menunjukkan sebenarnya keuangan partai sudah cukup memadai untuk membiayai saksi-saksinya yang hanya dibutuhkan sekali selama 5 tahun.
"Kita tidak pernah tahu untuk apa dana APBN tiap tahun yang diberikan itu digunakan," katanya.
Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas Padang.
Ia menyebutkan survei dari Transparansi Internasional Indonesia (TII) mengenai pendanaan Partai Politik (Juni 2012- April 2013) menunjukkan bahwa dari sembilan partai yang disurvei rata-rata mereka belum transparan dalam mengelola dana partai.
Bahkan dua partai kurang koperatif dan 1 partai sama sekali tidak koperatif untuk dilakukan survey mengenai hal ini. "Dari hasil penelitian TII tersebut tampak bahwa parpol masih saja mengidap penyakit koruptif, kemana dana APBN/APBN yang dikucurkan itu digunakan," katanya.
Jika dana itu diterima setiap tahun apakah tidak pernah mereka merencanakan atau mempersiapkan untuk menggunakan dana pada tahun terakhir (tahun kelima) untuk kepentingan saksi parpol dalam pemilu berikutnya.