REPUBLIKA.CO.ID, Pemikiran untuk membeli pesawat haji sudah muncul sejak 20 tahun silam.
Polemik pembelian pesawat terbang khusus haji oleh Kementerian Agama (Kemenag) masih terus bergulir. Bagi pihak yang setuju, ini akan bisa memaksimalkan ‘dana nganggur’ yang mencapai sekitar Rp 50 triliun.
Selain bisa menekan efisiensi harga tiket, dengan adanya pesawat sendiri, jamaah haji akan lebih bisa mendapatkan pelayanan maksimal untuk terbang ke Tanah Suci.
Di sisi yang lain, pembelian pesawat perlu dipikirkan. Dengan durasi musim haji yang hanya membuat pesawat terpakai tak sampai 2,5 bulan, di luar musim haji, pesawat itu akan bisa menjadi beban negara.
Hal lainnya, peran utama dari Kemenag sebenarnya adalah mengurus umat. “Bukan ngurusin bisnis dengan memikirkan membeli pesawat,” kata Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kurdi Mustofa.
Polemik yang kembali mencuat ini terjadi setelah Menteri Agama Suryadharma Ali kembali lagi menyampaikan keinginannya untuk membeli pesawat terbang guna mengangkut jamaah haji.
Ia beralasan, dengan membeli pesawat khusus, dari sisi investasi akan menguntungkan jamaah. Selain itu, dengan membeli pesawat akan dapat meningkatkan aspek pelayanan menjadi lebih baik sekaligus dapat menekan harga tiket yang setiap tahun terus meningkat.
Menteri juga menyebut setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan dana sebesar Rp 5 triliun untuk membeli tiket. “Kiranya kita perlu melakukan loncatan pemikiran hingga 30 tahun ke depan untuk peningkatan pelayanan haji,” kata Suryadharma seperti dilansir dari laman resmi Kemenag.
Namun, Kurdi menilai jika hal itu ingin dilakukan, yang harusnya membeli bukanlah pihak Kemenag. Ia mengatakan bukankah Indonesia sudah memiliki BUMN yang mengurusi hal semacam ini, yaitu Garuda Indonesia. “Kalau memang mau ngotot membeli pesawat, Kemenag jadi saja BUMN,” ucap purnawirawan jenderal bintang tiga ini.
Kurdi menyatakan hal terpenting yang harusnya diurus oleh Kemenag adalah melakukan pembinaan umat. Sekarang ini, kata dia, peran itu justru lebih banyak dilakukan oleh masyarakat.
Pondok pesantren, organisasi massa, seperti NU atau Muhammadiyah, menurut dia, jauh berperan besar dalam pembinaan umat ketimbang Kemenag. “Inilah cara berpikir yang keliru,” ujarnya.