REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Sidarto Danusoebroto mengingatkan lembaga DPR bukan tempat belajar politik tetapi merupakan lahan pengabdian kepada negara dengan penguasaan soal legislasi, anggaran serta pengawasan.
"DPR itu bukan tempat untuk belajar. Tidak bisa baru mulai belajar. Anggota dewan harus mengetahui soal Legal drafter, soal anggaran dan pengawasan," kata Ketua MPR Sidarto Danusoebroto pada Dialog Kenegaraan di DPD RI Senayan Jakarta, Rabu (26/3).
Sidarto yang juga maju sebagai caleg DPD RI dari Dapil DIY tersebut menegaskan menjadi politisi atau anggota dewan harus terus bersuara untuk menyuarakan amanat rakyat.
"Jadi politisi harus bersuara, harus siap untuk berbicara dalam segala hal. Sekarang banyak anggota yang siap untuk diam," kata Sidarto.
Sidarto juga mengkritisi sistim terbuka bebas yang sekarang digunakan dalam pemilu membuat orang-orang kapabel tapi tidak memiliki dana yang cukup menjadi tersingkir.
"Saya memang tidak setuju dengan sistim suara ini. Kita jadi banyak kehilangan orang-orang pintar tapi karena bermodal cekak, hilang tidak terpilih kalah sama orang-orang yang punya duit dan populer," katanya.
Sidarto menegaskan berdasarkan pasal 22 E UUD 45 menyatakan bahwa DPR itu basisnya parpol.
Lebih lanjut Sidarto menjelaskan tingkat pendidikan di Indonesia yang saat ini mayoritas SMP dan pendapatan per kapita 2.500-3.000 dolar AS per tahun, maka belum bisa diterapkan sistim terbuka suara terbanyak seperti sekarang ini.
"Kalau nanti sudah mayoritas pendidikan SMA dan pendapatan per kapita rata-rata 10.000 dolar Amerika Serikat, baru bisa. Kalau seperti ini kondisinya, yang kepilih hanya orang-orang kaya dan terkenal saja," kata Sidarto.