Jumat 28 Mar 2014 16:45 WIB

KH Mohammad Mansyur, Ulama Cerdas Pahlawan Jakarta (1)

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Kiprah Mohammad Mansyur atau yang akrab dipanggil dengan nama Guru Mansyur ini tertoreh dalam sejarah Kota Jakarta. Selain cerdas dalam ilmu agama, ia tak segan memanggul senjata untuk melawan penjajah serta menegakkan Islam di tanah Batavia ini.

Mohammad Mansyur (1878-1967) adalah seorang ulama cerdas dari Betawi. Ia hidup sejak zaman penjajahan Belanda dan menjadi saksi dari perjuangan rakyat Jakarta untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sebagai ulama, ia banyak menelurkan karya Islami yang sangat berguna dalam pengajaran agama Islam. Sebelumnya, ia telah memperdalam ilmu agamanya di Makkah selama empat tahun lamanya. Sepulangnya dari Makkah, ia kemudian mengajar di Jamiatul Khair dan banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam besar lainnya.

Ia adalah orang yang berhasil menggagalkan pembongkaran masjid Cikini pada 1925 yang terletak di Jalan Raden Saleh. Keturunannya pun banyak yang menjadi ulama besar penegak syariat Islam, salah satunya adalah cucunya yang kini menjadi ulama terkemuka, Ustaz Yusuf Mansyur.

Mohammad Mansyur lahir di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta, pada 1295 H atau 1878 M. Ia lahir di lingkungan yang agamis. Ayahnya adalah KH Abdul Hamid bin Muhmmad Damiri.

Ayahnya merupakan guru mengaji yang sangat disegani di lingkungan tersebut. Mohammad Mansyur beruntung bisa mendapatkan pendidikan langsung dan belajar dari ayahnya yang merupakan guru dari banyak pemuda Betawi lainnya.

Sejak kecil, ia tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak. Meski ia mempelajari ilmu lainnya, ia terlihat ingin memperdalam kajian dalam ilmu hisab ini. Keuletannya dalam menimba ilmu agama tak pupus meski ayahnya telah meninggal. Ia terus belajar, mencari guru panutan lain, seperti kakak-kakaknya, juga ulama lain.

Pada usia 16 tahun, Mohammad Mansyur pergi ke Makkah. Selain menunaikan ibadah haji, ia juga banyak menimba ilmu agama di sana. Ia belajar pada sejumlah ulama terkemuka, antara lain, Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori, Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami, Syekh Ali Al Maliki, Syekh Said Al Yamani, Syekh Umar Sumbawa, dan banyak lagi guru lainnya.

Pulang dari Makkah, ia menghabiskan waktu di kampungnya untuk mengajar dan berdakwah. Ia juga banyak mendirikan sekolah, madrasah, pesantren, serta membentuk banyak majelis taklim.

Pada 1915, ia diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi serta pernah juga menjabat sebagai rois Nahdlatul Ulama cabang Betawi pada zaman kepemimpinan KH Hasyim Asy'ari.

Ilmu falak menjadi perhatian khusus bagi sang ulama cerdas ini. Ini timbul karena keprihatianannya melihat masyarakat Betawi di sekitarnya sering tak sama menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement