REPUBLIKA.CO.ID, KH Sobron menjelaskan ayat 282 surah al-Baqarah, salah satu hikmahnya ialah menghindari fitnah. Jangan sampai seseorang seenaknya menuding orang lain berutang sehingga harus membayar.
Bila tidak ada bukti, bisa menjadi fitnah. Karena itu, harus ada catatan dan saksi sehingga ketika utang ditagih, tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Ia menjelaskan bahwa orang yang mempunyai utang lalu menunda-nunda pembayaran, padahal mampu, boleh dijatuhkan martabatnya. Beritahukan saja ke publik bahwa yang bersangkutan berutang, tapi enggan melunasinya. “Jika tetap mangkir, kita boleh mengambil hartanya senilai utangnya,” katanya.
Pembina Pondok Pesantren Assalam, Plered, Purwakarta, Jawa Barat, Ustaz Muhtar Sadili Syihabudin menyatakan, pencatatan utang piutang penting diketahui keluarga. Suatu saat, ia menjelaskan, keluarga akan menjadi ahli waris dan bisa segera menyelesaikan utang tersebut sebelum harta peninggalan orang yang meninggal itu menjadi milik ahli waris.
Ketentuan pembayaran utang terlebih dahulu diselesaikan sebelum pembagian warisan itu, seperti ditegaskan surah an-Nisaa’ ayat 11.
Urgensi pemberitahuan utang lewat dokumentasi utang piutang kepada keluarga cukup penting. Ini mengingat fakta di masyarakat, yakni istri berutang tanpa sepengetahuan suami.
Begitu sebaliknya. Suami “gali lubang” tanpa memberitahu istri. Keberadaan utang itu barulah terungkap, misalnya saat salah satu pihak meninggal. “Jika ada catataan dan saksi akan lebih mudah penyelesaiannya,” ujarnya.
Namun, tanpa saksi dan catatan, akan menimbulkan fitnah bagi keluarga yang ditinggalkan. Sedangkan bagi almarhum atau almarhumah, hisabnya tertunda.
Karena itulah, Ustaz Muhtar menyarankan agar menunjung etika berutang. Ia mengakui tuntunan hajat hidup terkadang menuntut seseorang terpaksa berutang. Ia mengingatkan agar pandai- pandai mengelola utang piutang tersebut.