Oleh: Erdy Nasrul
Rasa takut bisa dimulai dengan menyadari kesalahan.
Tak banyak yang sadar akan pentingnya takut kepada Allah SWT? Barangkali banyak faktor penyebabnya. Bisa jadi, karena ketidaktahuan tentang cara memulai takut kepada Sang Khaliq atau bagaimanakah cara agar seseorang membiasakan diri dan lantas konsisten tetap takut kepada-Nya?
Sufi ternama, Abu Amar ad-Dimasyqi, seperti dinukilkan oleh Abu Bakar al-Kalabadzi dalam At-Ta'aruf li Madzhab Ahl at-Ta'aruf, berbagi kiat sederhana agar seseorang bisa memunculkan rasa takut tersebut.
Paling mendasar ialah mendorong rasa takut akan dirinya sendiri. Nafsu yang mengangkangi diri sendiri, lebih bahaya ketimbang rongrongan godaan eksternal. “Berani melawan musuh eksternal belum tentu musuh dalam diri sendiri,” kata dia.
Bila hal ini tercapai, kata ad-Dimasyqi, maka perlahan akan mengarah pada puncak rasa takut, yakni hanya kepada Allah. Orang yang bersangkutan tidak takut kepada apa pun yang ada di alam semesta ini.
Namun, ketika dihadapkan kepada Allah, bergetarlah hatinya. Jangankan berhadapan, cuma disebut salah satu asma-Nya, dia langsung menunjukkan ketundukan.
Takut tersebut pun akhirnya membuahkan hasil. Allah menjadi satu-satunya yang ditakuti, karena dia hanya berpedoman kepada cahaya Allah yang menjadi sumber mata batinnya. Cahaya itu menjelaskan tentang konsepsi dasar tentang Tuhan, alam, ilmu, dan makhluk.
Semuanya menjadi dasar baginya dalam memandang kehidupan. Konsepsi tersebut didapatnya dengan cahaya berupa ilmu yang tertanam di hati. Jika ilmu itu hilang maka tidak ada lagi perangkat untuk memandang kehidupan ini.
Dia tidak lagi menakuti kematian, karena hal itu pasti terjadi. Kelaparan bukanlah yang ditakuti, karena raga akan tetap bergerak meski lapar. Semua penyakit raga akan hilang dengan sendirinya karena tergantikan dengan ketakutan hanya kepada Allah.
Sementara itu, sang maestro Imam Abu Hamid al-Ghazali berbagi cara sederhana guna mendorong terwujudnya rasa takut kepada Allah. Pertama, mulailah dengan penderitaan hati akibat kesalahan dan keburukan di masa lalu ataupun masa mendatang.