Ahad 13 Apr 2014 03:43 WIB

Oposisi Kuwait Desak Demokrasi Multipartai

Red: Indira Rezkisari
Protes dari pihak oposisi Kuwait menuntut sistem pemerintahan yang lebih demokratis.
Foto: RT.COM
Protes dari pihak oposisi Kuwait menuntut sistem pemerintahan yang lebih demokratis.

REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT CITY -- Kelompok oposisi Kuwait pada Sabtu (12/4) mendesak penerapan sejumlah reformasi politik yang di antaranya mencakup sistem demokrasi multi partai untuk membatasi kekuasaan keluarga emir.

Kuwait sendiri sampai saat ini adalah negara yang melarang pendirian partai politik.

Koalisi oposisi tersebut terdiri dari kelompok Islamis, liberal, nasionalis, serikat buruh dan dagang, dan aktivis masyarakat sipil.

Desakan yang diberi nama "program reformasi politik nasional" itu mengusulkan sejumlah perubahan terhadap konstitusi dan legislasi agar sistem multi partai dapat diterapkan. Mereka juga menginginkan agar keluarga Al-Sabah untuk mundur dari pemerintahan setelah berkuasa selama 250 tahun.

Pemerintahan di Kuwait sejak 1962 selalu dipimpin oleh tokoh senior keluarga Al-Sabah sementara anggota keluarga lainnya menduduki sejumlah posisi penting di kementerian seperti kemeterian dalam negeri, pertahanan dan urusan luar negeri.

Kelompok tersebut menginginkan amandemen atas 36 ketentuan dalam konstitusi untuk membatasi kekuasaan keluarga emir melalui kombinasi antara sistem presidensial dan parlementer.

Dalam usulan tersebut, emir yang berkuasa harus mengundang ketua partai pemenang pemilu untuk membetuk kabinet sehingga hak prerogatif yang dia pegang dapat dibatasi. Emir juga berkewajiban memberi penjelasan kepada publik jika hendak membubarkan parlemen.

Oposisi juga mendesakkan sejumlah perubahan legislasi dengan mengusulkan 20 undang-undang baru yang terkait dengan korupsi, akuntabilitas, dan kebebasan publik.

"Ini adalah program penyelamatan nasional yang bertujuan untuk menyelamatkan apapun yang tersisa di Kuwait. Keluarga yang berkuasa saat ini tidak boleh lagi memimpin pemerintahan," kata Saad al-Ajmi, tokoh Popular Action Movement yang bergabung dalam koalisi.

Sementara itu tokoh koalisi lain, Mussallam al Barrak mengatakan bahwa kelompoknya akan menggunakan cara damai untuk mendesakkan usulan reformasinya, termasuk di antaranya dengan berdemonstrasi.

Sebelumnya, kelompok yang sama telah melakukan serangkaian unjuk rasa pada 2011 sampai 2012 namun intensitas dan jumlah pengikutnya semakin menurun.

Kuwait, yang memproduksi tiga juta barel minyak perhari, adalah negara yang terus diguncang oleh sengketa politik sejak 2006 lalu. Selama tujuh tahun terakhir, negara tersebut telah membubarkan parlemen enam kali dan membentuk pemerintahan 12 kali.

Namun keemiran pada akhir-akhir ini terlihat relatif tenang sejak kelompok oposisi memboikot pemilu parlemen Juli 2013 lalu.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

  • 1 kali
  • 2 kali
  • 3 kali
  • 4 kali
  • Lebih dari 5 kali
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement