Jumat 18 Apr 2014 00:41 WIB

Ada Pihak yang ‘Kacaukan’ Pembebasan Lahan PLTU Batang

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Julkifli Marbun
 Warga yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Batang Berjuang Untuk Konservasi melakukan aksi menolak rencana pembangunan PLTU Batang di depan Kedubes Jepang, Jakarta, Senin (22/7).    (Republika/ Tahta Aidilla)
Warga yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Batang Berjuang Untuk Konservasi melakukan aksi menolak rencana pembangunan PLTU Batang di depan Kedubes Jepang, Jakarta, Senin (22/7). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, BATANG -- Pembebasan lahan untuk proyek PLTU Batang kembali berpolemik. Ditengarai ada pihak lain yang mencoba ‘bermain’ hingga proses yang –sebelumnya--  telah berjalan kondusif kembali memanas.

 

Ini terkait dengan beredarnya isu pembelian lahan yang belum terbebaskan, seharga Rp 400 ribu per meter persegi yang awalnya disebut- sebut dilakukan oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) selaku investor proyek PLTU berkapasitas 2 X 1.000 Megawatt (MW) ini.

 

Sejauh ini PT BPI sendiri telah mengklarifikasi tidak ada harga pembelian lahan di luar nilai yang telah disepakati, Rp 100 per meter persegi. “Transaksi yang dimaksud warga, bukan transaksi oleh PT BPI,” tegas Corporate Secretary PT BPI, Dyah Kumala Sari, di kantor Setda Kabupaten Batang, Kamis (17/4).

 

Menurutnya, dari alat pembayaran berupa cek --yang dijadikan bukti oleh warga—juga bukan cek dari bank yang selama ini digunakan oleh PT BPI. “Demikian dengan tandatangan yang tercantum dalam cek ini bukan petugas kami,” tambah Dyah.

 

Di lapangan, isu ini terus menjadi bola liar hingga warga pemilik lahan di Desa Karanggeneng dan Ujungnegoro, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang berubah pendirian.

 

Warga --yang semula menyepakati harga pembelian PT BPI sebesar Rp 100 ribu per meter persegi-- bersikeras kesetaraan harga, Rp 400 ribu per meter persegi merupakan harga ‘mati’.

 

Ini dibuktikan dengan maraknya spanduk bernada provokatif menghiasai jalan utama menuju Desa Ujungnegoro maupun di jalan poros desa di wilayah Desa Karanggeneng.

 

Spanduk- spanduk ini Antara lain bertuliskan, ‘Jangan Adu Domba Kami dengan Kompensasimu- warga Ujungnegoro' dan ‘Kalau Selama Ini Kami yang mendukung Dizolimi, Maka Kami Tuntut Keadilan dan Setarakan harga lahan atau BPI Keluar dari Desa Kami’

 

Hanya saja, tak banyak warga Desa Karanggeneng yang mau buka mulut soal awal mula isu pembelian lahan seharga Rp 400 ribu per meter persegi ini. Sejumlah warga bahkan terkesan menghindar.

 

Terutama jika perbincangan mulai masuk ke dalam persoalan tuntutan harga warga yang berubah ini. “Saya tidak tahu menahu masalah tuntutan warga Karanggeneng ini. Jangan tanya saya,” ungkap Witarni (37), salah seorang warga Desa Karanggeneng.

 

Camat Kandeman, Supardi SH MSi mengatakan warga memang berdalih memiliki bukti fotokopi cek dan beberapa foto pendukung transaksi pembelian lahan seharga Rp 400 ribu per meter persegi ini.

 

Bahkan –saat berdemo—fotokopi cek yang dikeluarkan  BRI Semarang Cabang A Yani ini sempat dijadikan spanduk dalam ukuran besar. 

 

Hanya saja, warganya juga tak dapat menyebutkan secara pasti siapa sesungguhnya jatidiri seseorang yang membeli tersebut, ketika pihak BPI menegaskan hal ini bukan transaksinya.

 

Tapi warga mengaku punya bukti cek pembelian Rp 400 ribu per meter persegi itu. “Kami sendiri juga kebingungan pak, kecuali hanya pokoke! warga tak banyak menjelaskan,” tegasnya.

 

Terkait kemungkinan adanya pihak lain yang ‘bermain’ di balik kisruh tuntutan ganti rugi yang lebih tinggi atas lahan terkena proyek PLTU Batang ini, Supardi tidak membantahnya.

 

Termasuk kemungkinan masuknya ‘mafia tanah’ yang mencoba mengambil keuntungan dari molornya proses pembebasan lahan ini. Namun tujuannya untuk apa ia mengaku masih belum mengerti.

 

Jika dilihat dari cara transaksinya ia mengakui umpet- umpetan . “Kalau ini tujuannya untuk mengacaukan proses pembebasan lahan saya pun juga belum yakin. Namun kalau tidak, mengapa berani membeli dengan harga lebih tinggi,” tambahnya.

 

Permasalahan inilah, tambah Supardi, yang membuat warga Desa Ujungnegoro dan Desa Karanggeneng emosional. Karena mereka berharap lahannya dapat dibeli dengan harga Rp 400 ribu per meter persegi.

 

Padahal, warga yang menuntut penyetaraan harga ini merupakan warga yang sebelumnya pro dan telah melepas lahan mereka seharga Rp 100 ribu per meter persegi.

 

“Sementara lahan yang dibeli seharga Rp 400 ribu per meter persegi ini dibeli dari orang- orang yang kontra,” tambahnya.

 

Sekretaris Daerah Kabupaten Batang, Drs Nasikhin MH menambahkan, Pemkab Batang telah membahas langkah- langkah yang perlu dilakukan bersama pihak PT BPI serta unsur Muspida.

 

“Dalam waktu dekat, Pemkab Batang akan membantu memberikan penjelasan serta sosialisasi kepada warga terkait dengan pembelian lahan di luar kesepakatan PT BPI ini,” tambahnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement